All posts by juneman@gmail.com

Membimbing Calon Doktor

Setelah menguji calon doktor di Universitas Airlangga, kali ini saya ikut membimbing calon doktor di program DCS BINUS University (Doctor of Computer Science), bersama Prof. Edi Abdurachman dan Dr. H.L.H. Spits Warnars, pada 12 November 2020.

Perkembangan publikasi: Personnel System Development with Integrated Military Education Information System (MEIS) in Supporting the Personnel Position and Career (Pengembangan Sistem Kepegawaian dengan Sistem Informasi Pendidikan Militer Terpadu (MEIS) dalam Mendukung Jabatan dan Karir Personil Milter)

Kami tengah melakukan riset tentang pengembangan pola karier dan penempatan jabatan personel TNI Angkatan Laut, dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan keilmuan, yaitu psikologi dan sistem informasi.

Update (9 Februari 2021): Kolokium Tahap II

Self-diagnose (Diagnosis Diri): Is It Good?

Dalam rangka kampanye kesehatan jiwa, Dr. Juneman Abraham berbicara mengenai Self-diagnose yang mengalami pergeseran dari praktik medik menjadi praktik sosial. Guna memperoleh pemaparan yang utuh dari Dr. Abraham dalam ajang PsyClub, 7 November 2020, silakan menghubungi pembicara. Salam Berdaya dan Sehat Mental!

Mengenai Pembicara:

Dr. Juneman Abraham adalah Psikolog Sosial dan Associate Professor di Universitas Bina Nusantara (BINUS) dalam bidang Psikologi Perkotaan, Psikologi Kebijakan Publik, dan Psikoinformatika. Merupakan Ketua Kompartemen Riset & Publikasi, Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), serta Asesor Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Psikologi Indonesia dalam bidang Perancangan dan Fasilitasi Pengembangan Komunitas. Menjadi mitra bestari Jurnal Anima – Universitas Surabaya, Jurnal Integritas – Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Aspirasi – DPR RI, serta Journal of Social and Political Psychology (JSPP). Melakukan berbagai penelitian serta memberikan seminar dan workshop mengenai Kedirian (Selfhood), diantaranya Kenyataan Diri, Pengelolaan Diri, Konstruksi Diri, Kepalsuan Diri, Perubahan Diri dan Perubahan Sosial, serta Diri Eksistensial, baik di lembaga pendidikan maupun di lembaga bisnis. Pernah menjabat sebagai Sekjen Asosiasi Psikologi Asia (APsyA) serta merupakan anggota dari World Association of Personality Psychology (WAPP).

Psikologi Kematian: Yang Bagaimana?

Psikologi kematian jelas bukan Teologi kematian. Banyak penulis mencampuradukkan kedua hal tersebut. Oleh karena itu, perlu kajian dan studi empiris mendalam terhadap Psikologi Kematian.

Dalam perjalanan hidup, atas perhatian saya terhadap tema kematian yang diangkat ke tingkat psikologis, saya menghasilkan sejumlah karya di bidang psikologi ini:

Pertama, adalah tulisan saya mengenai Teori Manajemen Teror (Psikologi Kematian) dalam Rubrik Sains Majalah MerPsy. Tulisan ini lebih merupakan terjemahan dan saduran dari berbagai sumber untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai: Apakah ada psikologi kematian? Apa implikasi penelitian psikologi kematian? Apa implikasi praktisnya? Apa sajakah salah-paham tentang psikologi kematian? Mengapa perlu bergairah terhadap psikologi kematian?

Kedua, adalah sebuah hasil wawancara mengenai Korupsi dipandang dari Sisi Psikologi Sosial. Dalam interviu ini, saya mengupas kaitan antara cara pandang terhadap kematian dengan peluang berpikir dan berbuat korup, justru karena ketakutan akan kematian itu.

https://bunghattaaward.org/korupsi-dipandang-dari-sisi-psikologi-sosial/

Ketiga, adalah artikel penelitian mengenai Online Impulse Buying. Dalam artikel ini, saya dkk membahas tentang kaitan antara takut mati dengan pembelian impulsif secara daring. Kendati demikian, “kaitan” tersebut lebih bersifat deskriptif, dan memicu penelitian korelasional atau eksperimental lebih lanjut. Dalam artikel tersebut, saya dkk menemukan bahwa:

“Analisis deskriptif tambahan yang menerapkan Teori Manajemen Teror menunjukkan bahwa peserta penelitian dengan saliensi kematian yang lebih tinggi cenderung memiliki lebih banyak pengalaman membeli secara daring, dan mereka cenderung membeli barang-barang yang lebih mewah seperti perhiasan dan jam tangan mahal daripada partisipan penelitian dengan saliensi kematian yang lebih rendah.”

“An additional descriptive analysis applying the Terror Management Theory showed that participants with higher mortality salience tend to have more online buying experience, and they are inclined to purchase more luxurious items such as jewelry and expensive watch than participants with lower mortality salience.”

Keempat, artikel saya mengenai Pendidikan Karakter, bertajuk “Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan (LPTK) Dalam Tantangan: Konvergensi Ilmu Pendidikan dengan Psikologi SosialSerta Hikmah Pembelajaran Lintas BudayaDalam Merajut Proses Pendidikan Berkarakter dan Berbudaya”. Dalam tulisan tersebut, saya menyampaikan pokok pikiran, sebagai berikut:

“Kematian, atau setidak-tidaknya pemikiran tentang kematian, merupakan etos filosofis pertumbuhan karakter seseorang.” Dengan demikian, aktivitas terkait dengan kematian,seperti upacara kematian kultural, baik dialami maupun dipelajari, mampu memfasilitasi pesertadidik mengalami nilai-nilai luhur yang pantas dikejar manusia dan menempatkannya secara integraldalam keseluruhan hidup bersama orang lain (esensi pendidikan karakter). 

Kelima, endorsement saya terhadap buku yang ditulis oleh mahasiswa saya, Bayu Jatmiko, mengenai MORTIDO. Endorsement tersebut dapat dibaca di sini:

Kendati demikian, bunyi aslinya adalah sebagai berikut (sebelum mengalami penyesuaian oleh Penerbit):

Saya telah membaca tema Psikologi Kematian yang termuat dalam berbagai karya, mulai dari psikologi rasionalnya (a.l. Louis Leahy) sampai dengan psikologi empirisnya – yang diwakili teori manajemen teror (Greenberg, Solomon, dan Pyszczynski). Bayu Jatmiko, Sarjana Psikologi dari Universitas Mercu Buana Jakarta, memberikan kontribusi khas terhadap Psikologi ini dengan meletakkan landasan bahwa ada sebuah prinsip paradoksikal dalam ketidaksadaran (lokusnya insting kematian dalam Psikoanalisis Klasik), yaitu Keawasan. Prinsip ini sungguh memiliki kapasitas untuk bertumbuh, beradaptasi, dan menguat, memihaki kehidupan, walau rentan untuk diganggu dan ditekan oleh hasrat rakus berbagai sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan kepercayaan. Kerentanan sekaligus kekuatan dari Keawasan, yang dianalisis Bayu dengan pendekatan bio-psikoanalitik-spiritual, menunjukkan bahwa dinamika psikologis kematian justru merupakan dinamika yang –  sebagaimana spekulasi sebagian pihak – asyik, kreatif, produktif, metamorfostis, serta memberadabkan kehidupan. Hanya saja, selamat kepada Bayu atas upayanya: Spekulasi itu kini semakin berkurang beberapa kabutnya. Bayu menegaskan kembali sebuah ajakan sufistis –  yang kini psikologis: Marilah kita mati sebelum mati. Kita ditantang untuk mengembangkan kemauan personal sampai dengan politik untuk menyambut ajakan ini!

Dr. Juneman Abraham, S.Psi.

Psikolog sosial, Universitas Bina Nusantara

Keenam, Psikologi (Pendampingan) Kematian.

Semoga menambah khasanah kita semua mengenai #PsikologiKematian.

Prokrastinasi atau Penunda-nundaan, “Kalau bisa esok (lusa), mengapa harus sekarang?”

Seorang mahasiswa S2 Profesi Psikologi bertanya kepada saya mengenai alat ukur prokrastinasi berbahasa Indonesia yang bisa digunakan untuk kepentingan psikodiagnosis dan konseling.

Selanjutnya, berdasarkan teori persepsi diri (Daryl Bem, 1972) saya melakukan refleksi atas riset-riset dan kajian yang pernah saya bersama teman-teman lakukan terkait topik prokrastinasi ini.

Ternyata, saya dkk. sempat menghasilkan 3 tulisan mengenai prokrastinasi, yakni:

  1. Computer Anxiety, Academic Stress, and Academic Procrastination on College Students, lebih khusus prokratinasi dalam dunia akademik/pendidikan.
  2. Decisional Procrastination: The Role of Courage, Media Multitasking and Planning Fallacy, lebih khusus mengenai prokrastinasi dalam pengambilan keputusan (decision making). Kami meneliti tentang faktor-faktor yang potensial mematahkan prokrastinasi jenis ini.
  3. Saduran/terjemahan: Kemalasan itu Tidak Ada. Pokok pikiran artikel ini adalah bahwa prokrastinasi bukanlah sejenis “trait” (sifat kepribadian). Tidak ada orang yang memiliki “sifat malas”. Perilaku prokrastinasi bukanlah sifat ini, dan bukan bersumber dari sifat ini. Selalu ada faktor situasional yang mampu menjelaskan perilaku penunda-nundaan.

Menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020

Menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) / Hari Kesehatan Mental Sedunia (HKMS) / World Mental Health Day (WMHD) 2020, pada 10 Oktober 2020 mendatang, yang mengambil tema “Mental Health for All: Greater Investment – Greater Access (Kesehatan Jiwa untuk Semua, Investasi Lebih Besar – Akses Lebih Luas), saya kembali mengingat sejumlah passions yang saya tuangkan untuk isu-isu kesehatan jiwa, sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi, seperti:

  1. Menjadi Panitia Kegiatan Kuliah Umum Kesehatan Jiwa (2007).
  2. Menulis Di Mana Kita di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia? (2014)
  3. Menjadi Anggota Tim Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) untuk Layanan Sehat Jiwa / SEJIWA 119 ext. 8 (2020)
  4. Menyusun alat ukur (pengukuran) Kesehatan Jiwa berbahasa Indonesia pada masyarakat perkotaan (2012).
  5. Mengadvokasi Rancangan Undang Undang (RUU) Praktik/Profesi Psikologi.
  6. Menyunting Jurnal Ilmiah di bidang Kesehatan Jiwa (The Indonesian Journal of Mental Health), yakni ATARAXIS (2007).
  7. Berbicara tentang Schizophrenia Tahap Awal, dalam agenda Seminar Awam dari Sanatorium Dharmawangsa (2005).
  8. Berbicara pada Simposium Himpunan Jiwa Sehat Indonesia (HJSI), bertajuk Upaya Penyembuhan Gangguan Mental (Skizofrenia) Melalui Terapi Kognitif dan Terapi Keluarga (2005).
  9. Menjadi Narasumber dalam Kegiatan Seminar Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI (2012).
  10. Menjadi Ahli Sosial Psikologis dalam rangka Penyusunan Pedoman Sosial Psikologis di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2009).
  11. Menyadur tentang psikologi bencana, bertajuk Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana.

Isu-isu Kesehatan Jiwa memang senantiasa menarik bagi saya untuk diperjuangkan bersama, dan menurut hemat saya, kita perlu menemukan bentuk-bentuk layanan yang jauh lebih adaptif mengenai Kesehatan Mental sesuai dengan perkembangan Pandemi dan Revolusi Industri 4.0.