Menyambut Hari Kesehatan Mental Sedunia 2023, saya memberikan pendapat ahli di bidang kesehatan jiwa mengenai bagaimana memaknai Hidden Gem (tempat tersembunyi, “harta tersembunyi”) secara psikologis.
Dimuat di Harian Kompas (cetak) tanggal 7 Oktober 2023. Versi daring terbit di Kompas.id dengan judul yang sama. Berikut adalah petikannya:
Kejutan Asyik di Tempat Tersembunyi
Di tengah tekanan dan kepenatan rutinitas, warga mencari rekreasi dengan bepergian ke tempat-tempat unik yang tersembunyi. Ada Kampoeng Gallery, ada juga Arborea Cafe.
Oleh BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, PRAYOGI DWI SULISTYO, DAHLIA IRAWATI 7 Oktober 2023 02:00 WIB
Jalan-jalan untuk menyehatkan jiwa (healing) kini sedang merebak di kalangan anak muda. Kegiatan semacam rekreasi untuk menghilangkan kepenatan dari tekanan dan rutinitas ini juga sering dilakukan dengan mencari tempat unik dan istimewa yang terkesan tersembunyi dan belum banyak diketahui orang atau istilah zaman now hidden gem.
Tulilulit… tulilulit…. Sirene palang pintu pelintasan kereta berbunyi nyaring di Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2023) siang. Woosshhh…. Kereta komuter pun melewati jalurnya. Tak lama ratusan penumpang turun dari kereta dan menghambur berjalan keluar stasiun.
Di bagian luar stasiun, tumpah ruah pedagang loak yang memadati sebagian badan jalan raya. Para pejalan kaki harus berbagai ruang dan bercampur aduk dengan kendaraan bermotor dan angkutan umum yang parkir mangkal sembarangan. Begitulah pemandangan sehari-hari sekitar Stasiun Kebayoran Lama.
Namun, siapa yang menduga, di tengah kesemrawutan itu, tersembunyi sebuah tempat nongkrong unik yang kini tengah digemari anak muda, yaitu Kampoeng Gallery. Sekilas, lokasi warung makan dengan dekorasi unik barang-barang hobi tahun lama ini tidak akan terlihat jika hanya sekali lewat. Berlokasi di Jalan Masjid Al Huda atau persis di bagian belakang Stasiun Kebayoran Lama, Kampoeng Gallery tersembunyi di balik warung-warung dan kios lainnya.
Namun, begitu sudah masuk ke dalam, suasana sungguh berbeda. Berbeda 180 derajat dengan situasi di luar yang kibang-kibut itu, suasana di dalam Kampoeng Gallery penuh canda tawa kehangatan anak muda yang tengah berkumpul bersama.
Kampoeng Gallery ini berbeda dengan tempat nongkrong lain. Seluruh bagian dinding dihiasi berbagai barang koleksi kuno, seperti radio kuno, gitar listrik lawas, dan majalah dinding. Sebanyak 80 persen barang koleksi di sini bisa dijual kepada pengunjung yang tertarik.
Tempat ini juga seperti perpustakaan. Pengunjung juga bebas meminjam buku. Selain itu, tempat ini juga menjual kaset, CD, dan piringan hitam. Mereka juga menyediakan area untuk pertunjukan musik, drama, bedah buku, hingga pameran foto dan lukisan.
Fikri adalah satu pengunjung tetap Kampoeng Gallery. Ia merasa, tempat itu sungguh nyaman baginya, baik ketika sedang nongkrong bersama temannya maupun sedang sendirian menghilangkan penat di indekosnya.
”Konsepnya asyik. Harga makanannya terjangkau. Vibes-nya enaklah saya suka,” ujar pria 25 tahun ini.
Salah satu alasan Fikri sering kemari adalah karena dekat dengan indekosnya yang juga di kawasan Kebayoran Lama. Namun, sebelumnya dia tidak menyadari keberadaan Kampoeng Gallery. Fikri baru mengetahuinya seusai menyaksikan konten rekomendasi tempat makan hidden gem di Tiktok.
Saat hendak menuju lokasi, dia sempat kesulitan. Setelah tanya warga, barulah dia menemukan lokasi itu. Kini, dia rutin bolak-balik berkunjung ke sini. ”Betul-betul hidden gem,” ujarnya.
Pendiri dan pemilik Kampoeng Gallery, Ivan Moningka, bercerita, Kampoeng Gallery didirikan 2010. Konsep dari tempat ini adalah agar jadi tempat yang nyaman bagi anak muda mengekspresikan diri dalam seni dan belajar. Adapun koleksi yang terpanjang menghiasi dinding adalah hasil hobinya mengoleksi barang bekas sejak tahun 1990-an.
”Saya lihat di tempat lain itu menjual kemewahan untuk menarik anak muda agar merasa nyaman nongkrong. Buat saya, nyaman itu, ya, kayak di rumah dan pulang kampung. Di sini tempat anak muda nongkrong dan belajar atau terliterasi,” ujar Ivan.
Hutan mini
Berbicara lokasi hidden gem lainnya, siapa yang menyangka di tengah kantor kementerian, ada kafe di tengah suasana sejuk dan rindang. Ini adalah Arborea Café. Kafe ini berada di tengah hutan mini yang dipenuhi pohon-pohon tegakan yang sejuk di area Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat.
Bowo Satmoko (63), seorang konsultan lingkungan, selalu mengajak kliennya bertemu di kafe ini. Tak lain karena keunggulan kafe ini yang berada di area yang sejuk dan asri di tengah pepohonan rindang. Selain itu, lokasinya juga strategis di dekat pintu tol dan Stasiun Palmerah sehingga mudah diakses.
”Kalau di sini bisa tetap merasa sejuk walau di tengah kota yang lagi polusi,” ujar Bowo.
Staf Arborea Café Endri mengatakan, konsep kafe ini memang menawarkan tempat makan dan berkumpul yang asri di tengah pepohonan rindang. Biasanya kafe ini didatangi oleh orang kantoran sekitar kawasan ini ataupun muda-mudi yang hendak membuat konten unik di sosial medianya.
Pembebasan diri
Menurut psikolog sosial serta Wakil Rektor Bidang Riset dan Transfer Teknologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, Juneman Abraham, perasaan senang pengunjung di tempat yang tersembunyi terjadi karena adanya emosi kegembiraan terhadap elemen keindahan dan kenyamanan dari tempat tersebut. Selain itu, mereka juga menampung keakuan. Orang senang menjadi unik di samping senang bersosialisasi. Pergi ke tempat yang unik sejalan dengan identitas yang unik.
Di sisi lain, lanjut Juneman, tempat yang tersembunyi atau sulit ditemukan berkaitan dengan relasi profesi. Banyak orang merasa perlu sembunyi dari relasi profesi yang sering merenggut ruang-ruang hidupnya. Relasi profesi menjadi salah satu faktor penekan (distress).
Apalagi, kehadiran aplikasi percakapan seperti Whatsapp dan sejenisnya membuat ruang-ruang personal semakin mengerut karena terenggut oleh pembicaraan urusan pekerjaan. Bukan hanya pada saat waktu kerja, ruang personal juga bisa terenggut di luar jam kerja atas nama kepentingan bersama dan perusahaan/kantor yang lebih besar.
Situasi tersebut membuat sejumlah orang sengaja keluar dari grup Whatsapp kantornya atau mengatur Whatsapp-nya agar tidak mudah ditambahkan ke berbagai grup Whatsapp urusan pekerjaan. Hal itu merupakan bentuk lain dari menyembunyikan diri dari relasi profesi.
Menurut Juneman, tempat yang tersembunyi ibarat oase di tengah situasi ruang hidup secara fisik dan virtual yang semakin terdesak oleh relasi pekerjaan. ”Hidden gem ini seperti tambahan ruang di mana aku bisa bertumbuh secara personal, komunitas, bukan pertama-tama profesional. Dengan ketemu dan masuk ke hidden gem, ada perasaan pembebasan diri,” ujarnya.
Setelah pada awal 2020, saya memberikan pendapat mengenai RUU Ketahanan Keluarga, pada akhir 2020, tepatnya 5 Desember, saya bersama rekan-rekan di Pusat Penelitian DPR RI membahas pada tingkat yang lebih mikro, yakni ketahanan keluarga Muslim Indonesia di masa pandemi Covid-19.
Kita sepakat bahwa ketahanan keluarga (family resilience) dan kepuasan pernikahan (marital wellbeing) perlu diperkuat, namun syarat-syarat psikososialnya perlu kita perhatikan secara seksama.
Devon Price: Saya telah menjadi profesor psikologi sejak 2012. Dalam 6 tahun terakhir, saya telah menyaksikan siswa dari segala usia menunda pada dokumen-dokumen, melewati hari-hari presentasi, melewatkan tugas, dan membiarkan jadwal tenggat terlewati begitu saja. Saya telah melihat calon mahasiswa pascasarjana gagal mendapatkan lamaran tepat waktu; saya telah melihat kandidat PhD memerlukan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk merevisi satu konsep disertasi; saya dulu pernah memiliki siswa yang terdaftar di kelas yang sama dengan saya selama 2 semester berturut-turut, dan tidak pernah menyerahkan apapun saat itu.
Saya tidak pernah berpikir bahwa kemalasan
adalah suatu kesalahan.
Tidak pernah.
Faktanya, saya tidak percaya bahwa kemalasan
itu ada.
∙ ∙ ∙
Saya adalah psikolog sosial, jadi saya tertarik
terutama pada faktor situasional dan kontekstual yang mendorong perilaku
manusia. Ketika kamu berusaha untuk memprediksi atau menjelaskan suatu tindakan
seseorang, melihat kepada norma sosial, dan konteks dari orang tersebut,
biasanya cukup pasti. Kendala situasional biasanya memprediksi perilaku jauh
lebih baik daripada kepribadian, kecerdasan, atau sifat-sifat individu.
Jadi ketika saya melihat seorang siswa gagal
untuk menyelesaikan tugas, melewatkan tenggat waktu, atau tidak memberikan
hasil dalam aspek kehidupan mereka, saya tergerak untuk bertanya: faktor
situasional apa yang menahan siswa ini? Kebutuhan apa yang tidak dipenuhi? Dan,
ketika datang ke perilaku “kemalasan,” saya secara khusus tergerak untuk
bertanya: apa hambatan untuk tindakan yang saya tidak bisa lihat?
Hambatan itu selalu ada. Mengenali
hambatan-hambatan tersebut – dan melihat mereka sebagai hal yang sah, diakui –
seringkali merupakan langkah pertama untuk memecahkan pola perilaku “malas”.
∙ ∙ ∙
Merupakan hal yang sangat membantu untuk
merespon kepada perilaku seseorang yang tidak efektif dengan rasa penasaran
daripada suatu anggapan. Saya mempelajari ini dari seorang teman saya, Kimberly
Longhofer, seorang penulis dan aktivis (yang menerbitkan dengan nama Mik
Everett). Kim bersemangat tentang penerimaan dan akomodasi pada orang-orang
disabilitas dan para tunawisma. Tulisan mereka tentang kedua hal tersebut
merupakan beberapa karya yang paling mencerahkan dan bias yang pernah saya
temui. Sebagian dari itu adalah karena Kim brilian, tetapi juga karena berbagai
poin pada hidup mereka, Kim telah menjadi cacat dan tunawisma.
Kim adalah orang yang mengajariku bahwa menilai
atau memberi suatu anggapan kepada seorang tunawisma karena ingin membeli
alkohol atau rokok merupakan suatu kebodohan. Ketika Anda tidak memiliki rumah,
malam itu dingin, dunia menjadi tidak bersahabat, dan semuanya menjadi sangat
tidak nyaman. Baik Anda tidur di bawah jembatan, di dalam tenda, atau di sebuah
penampungan, sulit untuk beristirahat dengan mudah. Anda mungkin memiliki
cedera atau kondisi kronis yang terus-menerus mengganggu Anda, dan memiliki
akses yang kecil untuk bisa ke perawatan medis untuk menghadapinya. Anda
mungkin tidak memiliki banyak makanan sehat.
Dalam konteks yang tidak nyaman dan terlalu
menstimulasi, kebutuhan untuk minum atau beberapa rokok merupakan hal yang
masuk akal. Seperti yang Kim jelaskan pada saya, jika Anda berbaring di rasa
dingin yang membeku, meminum beberapa alcohol mungkin merupakan satu-satunya cara
untuk menghangatkan dan tidur. Ketika Anda kurang gizi, beberapa rokok mungkin
merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa lapar. Dan ketika Anda
berurusan dengan semua hal ini sembari dengan melawan rasa adiksi, maka ya,
terkadang Anda hanya membutuhkan apapun yang akan membuat gejala withdrawal (yang merupakan reaksi
negatif yang akan dialami individu ketika ia tidak mengonsumsi obat) hilang,
sehingga Anda bisa bertahan hidup.
Beberapa orang yang bukan tunawisma berpikir
seperti ini. Mereka ingin memoralisasikan keputusan dari orang miskin, mungkin
untuk menghibur diri mereka sendiri mengenai ketidakadilan dunia. Bagi banyak
orang, lebih mudah untuk berpikir bahwa tunawisma bertanggung jawab atas
penderitaan mereka sendiri daripada mengakui faktor-faktor situasional.
Dan ketika Anda tidak memahami konteks
seseorang sepenuhnya – bagaimana rasanya seperti mereka setiap hari, semua
kejengkelan atau gangguan kecil dan trauma besar yang mendefinisikan kehidupan
mereka – hal yang mudah untuk menanamkan ekspektasi abstrak dan keras pada
perilaku seseorang. Semua tunawisma
sebaiknya meletakkan botol dan bekerja. Lupakan bahwa sebagian besar dari
mereka memiliki gejala kesehatan mental dan penyakit fisik, dan secara
terus-menerus berjuang untuk diakui sebagai manusia. Lupakan bahwa mereka tidak
dapat istirahat dengan baik atau makanan yang bergizi untuk berminggu-minggu
atau berbulan-bulan. Lupakan bahwa bahkan dalam kehidupan saya yang nyaman dan
mudah, saya tidak bisa menjalani beberapa hari tanpa berkeinginan minum atau
melakukan pembelian yang tidak bertanggung jawab. Mereka harus melakukan yang
lebih baik.
Tetapi mereka telah melakukan yang terbaik dari
mereka. Saya kenal orang tunawisma yang bekerja pekerjaan penuh waktu, dan
orang yang mengabdikan diri mereka untuk merawat orang lain di komunitas
mereka. Banyak orang tunawisma perlu menavigasi birokrasi secara terus menerus,
berinteraksi dengan pekerja sosial, pekerja kasus, petugas polisi, staf
penampungan (atau tempat tinggal), staf medis, dan banyak kegiatan amal yang
bermaksud baik maupun merendahkan. Banyak pekerjaan untuk menjadi seorang
tunawisma. Dan ketika seorang tunawisma atau orang miskin kehilangan antusiasme
dan membuat “keputusan buruk”, ada alasan yang bagus untuk itu.
Ketika perilaku seseorang tidak masuk akal
untuk Anda, hal itu dikarenakan Anda kehilangan satu bagian dari konteks
mereka. Sesederhana itu. Saya sangat berterimakasih kepada Kim dan tulisan
mereka untuk membuat saya sadar akan fakta ini. Tidak ada kelas psikologi, pada
tingkat apapun, mengajarkan saya itu. Tetapi sekarang yang merupakan ‘lensa’
yang saya miliki, saya menemukan diri saya mengaplikasikan kepada semua
perilaku yang dikelirukan karena tanda dari kegagalan moral – dan saya belum
menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan berempati dengan.
∙ ∙ ∙
Mari kita lihat pertanda
“kemalasan” akademis yang saya yakini tidak lain adalah: penundaan.
Orang suka untuk menyalahkan orang yang penunda
karena perilaku mereka. Melepaskan pekerjaan tentu terlihat malas, ke mata yang
‘tidak terlatih’. Bahkan orang yang aktif melakukan penundaan bisa membuat
kekeliruan pada perilaku mereka ke kemalasan. Anda seharusnya melakukan
sesuatu, dan Anda tidak melakukannya – itu merupakan suatu kegagalan moral
bukan? Hal itu berarti Anda berkeinginan lemah, tidak termotivasi, dan malas,
benar?
Selama beberapa dekade, penelitian psikologis
telah mampu menjelaskan penundaan sebagai masalah fungsi, bukan konsekuensi
dari kemalasan. Ketika seseorang gagal untuk memulai proyek yang mereka pedulikan,
biasanya dikarenakan antara a) kecemasan mengenai upaya mereka tidak “cukup
baik” atau b) bingung mengenai apa langkah pertama dari tugas tersebut. Bukan
kemalasan. Faktanya, penundaan lebih seperti ketika tugas itu bermakna dan
individu tersebut peduli melakukannya dengan baik.
Ketika Anda ‘lumpuh’ karena takut gagal, atau
Anda bahkan tidak tahu bagaimana memulai usaha yang besar, rumit, dan merupakan
hal yang sangat sulit untuk menyelesaikannya. Itu tidak ada hubungannya dengan
keinginan, motivasi, atau moral yang baik. Penunda bisa bekerja sendiri selama
berjam-jam; mereka bisa duduk di depan dokumen yang kosong, tidak melakukan
apa-apa, dan menyiksa diri mereka sendiri; mereka bisa menumpuk rasa bersalah
lagi dan lagi – tidak ada di antara hal tersebut membuat tugas menjadi lebih
mudah. Faktanya, keinginan mereka untuk menyelesaikan tugas dapat memperburuk
stress mereka dan membuat memulai dari tugas tersebut menjadi lebih sulit.
Solusinya, sebagai gantinya, adalah untuk
melihat apa yang menahan si penunda. Jika kecemasan adalah hambatan terbesar,
si penunda sebenarnya perlu pergi dari komputer/buku/dokumen dan ikut dengan
aktivitas yang menenangkan. Untuk dicap sebagai “malas” oleh orang lain
kemungkinan akan mengarah pada perilaku sebaliknya.
Namun, sering, hambatannya adalah si penunda
memiliki tantangan fungsi eksekutif – mereka kesulitan untuk membagi tanggung
jawab yang besar menjadi serangkaian diskrit, spesifik, dan tugas yang dipesan.
Ini merupakan contoh dari fungsi eksekutif dalam tindakan: Saya telah
menyelesaikan disertasi saya (dari proposal ke pengumpulan data ke pertahanan
terakhir) dalam sedikit lebih dari setahun. Saya mampu menulis disertasi saya
dengan cukup gampang dan cepat karena saya tahu saya perlu a) menyusun
penelitian tentang topik tersebut, b) garis besar dokumen, c) menjadwalkan
periode penulisan dengan teratur, dan d) membagi dokumen, bagian demi bagian,
hari demi hari, sesuai dengan jadwal yang telah saya tentukan sebelumnya.
Tidak ada yang mengajari saya untuk membagi tugas
seperti itu. Dan tidak ada yang memaksa saya untuk mengikuti jadwal saya.
Menyelesaikan tugas seperti ini konsisten dengan cara kerja otak yang analitis,
autistik, dan fokus saya. Kebanyakan orang tidak memiliki kemudahan itu. Mereka
membutuhkan struktur eksternal untuk menjaga mereka tetap menulis – pertemuan
teratur antara kelompok menulis dengan teman, misalnya – dan jadwal tenggat
waktu yang ditentukan oleh orang lain. Ketika berhadapan dengan proyek yang
besar, kebanyakan orang menginginkan saran untuk bagaimana cara membagi tugas
tersebut menjadi tugas yang lebih kecil, dan linimasa untuk penyelesaiannya.
Untuk melihat kemajuannya, kebanyakan orang memerlukan peralatan organisasi,
seperti “to-do list”, kalender, buku data, atau silabus.
Membutuhkan atau memanfaatkan dari hal-hal
tersebut tidak membuat seseorang malas. Itu hanya berarti bahwa mereka memiliki
kebutuhan. Semakin kitra rangkul hal tersebut, semakin kita bisa membantu orang
berkembang.
∙ ∙ ∙
Saya memiliki seorang siswa yang melewatkan kelas.
Terkadang saya akan melihat ia berlama-lama dekat bangunan, tepat sebelum kelas
akan dimulai, ia terlihat lelah. Kelas akan segera dimulai, dan ia tidak
muncul. Ketika ia hadir di dalam kelas, ia sedikit menyendiri; ia duduk di
belakang kelas, matanya tertunduk, energi yang rendah. Ia memberikan kontribusi
kecil dalam kerja kelompok, tetapi tidak pernah berbicara ketika dalam diskusi
kelas yang lebih besar.
Banyak dari kolega saya akan melihat siswa ini
dan berpikir ia malas, berantakan, atau apatis. Saya tahu ini karena saya
pernah mendengar bagaimana mereka bicara mengenai siswa yang berkinerja buruk.
Sering ada rasa kemarahan dan kebencian dalam kata-kata mereka dan nada
bicaranya – kenapa siswa ini tidak serius
dalam kelas saya? Kenapa mereka tidak membuat saya merasa penting, menarik,
pintar?
Tetapi kelas saya memiliki unit pada stigma
kesehatan mental. Hal ini merupakan gairah saya, karena saya psikolog neuroatypical.
Saya tahu betapa tidak adilnya bidang saya bagi orang-orang seperti diri saya.
Kelas dan saya membicarakan tentang penilaian yang tidak adil yang diberi
terhadap orang-orang dengan penyakit mental; bagaimana depresi
diinterpretasikan sebagai kemalasan, bagaimana perubahan suasana hati dijebak
sebagai manipulatif, bagaimana orang dengan penyakit mental yang “parah”
diasumsikan sebagai tidak kompeten atau berbahaya.
Siswa yang pendiam, yang kadang-kadang
melewatkan kelas menonton diskusi ini dengan rasa tertarik yang kuat. Setelah
kelas, ketika orang-orang keluar dari ruangan, ia kembali dan diminta untuk
berbicara dengan saya. Kemudian ia mengungkapkan bahwa ia memiliki penyakit
mental dan secara aktif mengobatinya. Ia sibuk dengan terapi dan pengobatan
yang berganti, dan semua efek samping yang menyertainya. Terkadang, ia tidak
bisa meninggalkan rumah atau duduk diam di dalam kelas selama berjam-jam. Ia
tidak berani memberitahu profesor-profesornya yang lain karena hal inilah ia
melewatkan kelas dan terlambat, kadang-kadang, pada tugas; mereka akan berpikir
bahwa ia menggunakan penyakitnya sebagai alasan. Tetapi ia percaya bahwa saya
akan mengerti.
Dan saya mengerti. Dan saya sangat, sangat
marah karena siswa ini dibuat merasa bertanggung jawab atas gejala yang ia
alami. Ia menyeimbangkan kursus penuh, pekerjaan paruh waktu, dan yang sedang
ia jalani, pengobatan kesehatan mental yang serius. Dan ia mampu memenuhi
kebutuhannya dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia bukanlah seorang pemalas.
Saya mengatakan hal itu.
Setelah itu ia mengambil lebih banyak kelas
bersama saya , dan perlahan saya melihatnya keluar dari cangkangnya dengan
pelan-pelan. Menjelang tahun junior dan seniornya, ia aktif, kontributor jujur
kepada kelas – ia bahkan memutuskan untuk berbicara terbuka dengan
teman-temannya mengenai penyakit mentalnya. Ketika diskusi kelas, ia menantang
saya dan menanyakan pertanyaan menyelidik yang luar biasa. Ia membagikan banyak
sekali contoh-contoh media dan peristiwa terkini mengenai fenomena psikologis
dengan kami. Ketika ia sedang memiliki hari yang buruk, ia mengatakan kepada
saya, dan saya membiarkan ia melewatkan kelas. Profesor-profesor lainnya –
termasuk yang di departemen psikologi – tetap menghakiminya, tetapi di
lingkungan dimana hambatannya diakui, ia berkembang.
∙ ∙ ∙
Selama bertahun-tahun, di sekolah yang sama,
saya bertemu banyak sekali siswa yang direndahkan karena hambatan-hambatan di
kehidupan mereka tidak diakui. Ada seorang pemuda dengan OCD yang selalu datang
terlambat ke kelas, karena adanya kompulsi yang terkadang membuat ia terjebak
dalam suatu tempat dalam beberapa saat. Ada seorang penyintas dari hubungan
abusif, yang sedang memproses traumanya dalam janji terapi tepat sebelum kelas
saya setiap minggu. Ada seorang wanita muda yang telah diperkosa oleh temannya
– dan harus terus menghadiri kelas dengan temannya itu, ketika sekolah sedang
menginvestigasi kasus tersebut.
Para siswa ini semuanya dating kepada saya
dengan sukarela, dan berbagi cerita apa yang membosankan mereka. Karena saya
mendisuksikan penyakit mental, trauma, dan stigma di dalam kelas saya, mereka
tahu saya akan mengerti. Dan dengan beberapa akomodasi, akademis mereka
berkembang. Mereka memperoleh rasa percaya diri, melakukan upaya pada tugas
yang mengintimidasi mereka, menaikkan nilai mereka, mulai mempertimbangkan
kelulusan sekolah dan magang. Saya selalu menemukan diri saya mengagumi mereka.
Ketika saya kuliah, saya sama sekali tidak sadar akan diri saya sendiri. Saya
bahkan belum memulai proyek belajar seumur hidup untuk meminta bantuan.
∙ ∙ ∙
Siswa dengan hambatan tidak selalu diperlakukan
dengan kebaikan seperti itu oleh sesama profesor psikologi saya. Satu kolega,
khususnya, terkenal buruk karena tidak menyediakan ujian ulang dan tidak
mengizinkan keterlambatan. Tidak peduli situasi siswa, ia begitu kukuh dengan
persyaratannya. Tidak ada penghalang yang tidak dapat diatasi, dalam
pikirannya; tidak ada batasan yang dapat diterima. Orang-orang berusaha keras
di kelasnya. Mereka merasa malu dengan riwayat serangan seksual mereka, gejala
kecemasan mereka, episode depresi mereka. Ketika seorang siswa yang berperforma
buruk di kelasnya dan berperforma baik di kelas saya, ia curiga.
Secara moral sangat menjijikkan bagi saya bahwa
setiap pendidik akan begitu memusuhi orang-orang yang seharusnya mereka layani.
Sangat menyebalkan, bahwa orang yang melakukan teror ini adalah seorang
psikolog. Ketidakadilan dan pengabaian hal ini membuat saya berkaca-kaca setiap
kali saya mendiskusikannya. Ini adalah sikap umum di banyak kalangan
pendidikan, tetapi tidak ada siswa yang pantas untuk menjumpainya.
∙ ∙ ∙
Saya tahu, tentunya, bahwa pendidik tidak
diajari untuk merefleksikan pada apa hambatan siswa yang tidak terlihat.
Beberapa universitas bangga karena menolak menampung mahasiswa penyandang
disabilitas atau sakit mental – mereka mengelirukan kekejaman untuk ketegasan
intelektual. Dan, karena sebagian besar profesor-profesor adalah orang-orang
yang berhasil secara akademis dengan mudah, mereka memiliki kesulitan mengambil
perspektif seseorang dengan memperjuangkan fungsi eksekutif, kelebihan
sensorik, depresi, riwayat melukai diri sendiri, kecanduan, atau gangguan
makan. Saya dapat melihat faktor eksternal yang menyebabkan masalah-masalah
ini. Seperti yang saya tahu bahwa perilaku “malas” bukanlah pilihan yang aktif,
saya tahu bahwa sikap menghakimi, elitis biasanya muncul dari ketidakpedulian
situasional.
Dan karena itulah saya menulis ini. Saya
berharap untuk menyadarkan rekan-rekan pendidik saya – pada semua tingkat –
kepada fakta bahwa jika seorang siswa sedang berjuang, mereka mungkin tidak memilih untuk melakukannya. Mereka
mungkin ingin melakukannya dengan baik. Mereka mungkin sedang berusaha. Lebih
luasnya, saya ingin semua orang untuk mengambil pendekatan yang penuh rasa
ingin tahu dan empatik kepada individu yang ingin mereka hakimi sebagai “malas”
atau tidak bertanggung jawab.
Ketika seseorang tidak bisa lepas dari Kasur,
ada sesuatu yang membuat mereka merasa lelah. Jika seorang siswa tidak menulis
dokumen, ada beberapa aspek dari tugas tersebut yang mereka tidak bisa lakukan
tanpa bantuan. Jika seorang karyawan melewatkan tenggat waktu secara
terus-menerus, ada sesuatu yang membuat organisasi dan tenggat waktu pertemuan
menjadi sulit. Bahkan ketika seseorang aktif memilih untuk sabotase diri, ada
alasan untuk itu – rasa takut yang sedang mereka hadapi , beberapa kebutuhan
tidak ditemui, kurangnya ekspresi harga diri.
Orang-orang tidak memilih untuk gagal atau
mengecewakan. Tidak ada yang ingin merasa tidak mampu, apatis, atau tidak
efektif. Jika Anda melihat ke tindakan seseorang (atau kelambanan) dan hanya
melihat kemalasan, Anda melewatkan detail utama. Selalu ada penjelasan. Selalu
ada hambatan. Hanya karena Anda tidak bisa melihatnya, atau tidak melihat
mereka sebagai sesuatu yang diakui, tidak berarti bahwa mereka tidak ada.
Lihatlah lebih jelas.
Mungkin Anda tidak selalu dapat melihat perilaku manusia dengan cara ini. Tidak apa-apa. Sekarang kamu bisa. Cobalah.
Pada Minggu pagi, 7 Maret 2015, Juneman Abraham tampil dalam acara Indonesia Pagi di Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang membahas Hukuman Mati Ditilik dari Aspek Psikologi.
Juneman menjelaskan bahwa Hukum perlu memperoleh masukan dari Psikologi dan ilmu-ilmu sosial lain dalam hal hukuman mati. Riset-riset empiris dalam ilmu-ilmu tersebut telah menunjukkan bahwa tidak ada efek jera dari hukuman mati. Dengan demikian argumen yang mengatakan bahwa hukuman mati memiliki kegunaan dalam memulihkan disharmoni sosial tidak memiliki dasar. Sedikitnya ada tiga sebab mengapa hukuman mati tidak memiliki efek deteren. Pertama, bahwa pada saat melakukan kejahatan, diri orang sedemikian terlibatnya sehingga pertimbangan tentang konsekuensi seperti hukuman mati tidak mendapat tempat. Kedua, bahwa persepsi subjektif seseorang mengenai peluang bahwa dirinya akan tertangkap atau dihukum lebih memainkan peran dalam menimbulkan efek jera ketimbang jenis hukuman (seperti hukuman mati). Ketiga, berdasarkan prinsip kontiguitas dalam psikologi pemberian hukuman, hukuman yang efektif adalah hukuman yang diberikan segera setelah perbuatan jahat dilakukan; padahal dalam hukuman mati mustahil ada jarak waktu sesingkat itu.
Di samping itu, Juneman mencermati bahwa dukungan publik yang meluas terhadap hukuman mati lebih disebabkan karena adanya misinformasi di kalangan masyarakat mengenai proses dan konsekuensi dari hukuman mati itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat berjarak dari proses-proses yang menghantar pada hukuman mati. Apakah masyarakat mengetahui secara persis bahwa proses pengambilan keputusan hukuman mati sudah benar-benar bersih dari korupsi, sudah sungguh-sungguh bebas dari motif dan kepentingan politik, dan kepentingan-kepentingan lainnya? Kasus-kasus salah vonis menunjukkan bahwa hukum di negara kita belum mencapai keadilan paripurna, sehingga hukuman mati belum tepat diterapkan dalam konteks situasi yang demikian. Dari sisi konsekuensi hukuman mati yang bersifat retributif (ganti rugi) atas kerugian yang diderita korban dan masyarakat; apakah masyarakat mengetahui bahwa ada hukuman yang jauh lebih “setimpal” daripada hukuman mati? Hukuman penjara seumur hidup, tanpa remisi, dan disertai kewajiban bagi si terhukum untuk menunjukkan itikad baik kepada keluarga korban jauh lebih berat ketimbang hukuman mati. Pencitraan dalam media massa seperti film juga menunjukkan bahwa solusi yang adil atas suatu kejahatan adalah bahwa si penjahat mati ditembak. Kita diajarkan bahwa kita boleh mengalahkan kekerasan dengan kekerasan. Ini adalah kesalahan berpikir yang tidak menguntungkan bagi penghargaan terhadap hak hidup siapapun.
Ada satu lagi keberatan terhadap dijatuhinya hukuman mati. Perilaku, termasuk perilaku jahat, tidaklah dapat dilepaskan dari konteks sosial dari pelaku kejahatan. Kejahatan seringkali bukan semata-mata merupakan akibat dari individualitas seseorang (kepribadian, sifat, genetik), melainkan akibat interaksi juga dengan rentannya seseorang mengalami pengaruh-pengaruh sosial. Negara yang mewakili masyarakat tidak dapat menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang yang melakukan kejahatan di mana masyarakat selalu memiliki kemungkinan berkontribusi terhadap kejahatan tersebut. Juneman mengambil padanan contoh dengan kemiskinan struktural, di mana kemiskinan ini disebabkan bukan karena individu malas, tidak gigih bekerja, melainkan karena struktur sosial itu sendiri membatasi dan memiskinkan masyarakat. Terdapat pula bukti-bukti, misalnya, bahwa pelaku pembulian dari suatu segi merupakan “korban” dari sistem sosial. Untuk itu, sebelum struktur dan sistem sosial itu benar-benar dibenahi, hukuman mati tidaklah layak dijatuhkan.
Pada 14-16 dan 21-23 November 2014, dosen Jurusan Psikologi BINUS, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. berpartisipasi dalam pelatihan konseling terhadap klien laki-laki (male counseling) di Hotel Cipta, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pelatihan ini merupakan hasil kerjasama antara Yayasan PULIH dan RutgersWPF.
Selama enam hari ia menjalani pelatihan dan mengikuti case conference (sesi pembelajaran dari kasus) untuk kasus-kasus yang sesuai dengan topik konseling laki-laki (konseling pelaku kekerasan). Pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta (psikolog, ilmuwan psikologi, mitra PULIH, fasilitator serta aktivis Laki-laki Peduli) yang memenuhi persyaratan, antara lain pernah mengikuti seminar/pelatihan tentang jender dan maskulinitas, bersedia hadir setiap hari secara penuh (pukul 08.30 s/d 17.30 WIB), dan bersedia menerapkan ilmunya untuk membantu PULIH manakala membutuhkan konselor untuk melakukan konseling pelaku kekerasan/ konseling laki-laki.
Latar belakang pelatihan ini adalah sebagai berikut: Di berbagai bagian di dunia, muncul kesadaran bahwa untuk dapat memutus siklus kekerasan, laki-laki juga perlu menjadi target dalam intervensi berbasis jender. Banyak perempuan, baik penyintas (survivor) KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun yang memberikan layanan, menyadari bahwa KDRT tidak akan dapat dihapuskan bila intervensi hanya difokuskan pada perempuan. Program Konseling bagi Laki-laki adalah bagian dari program Laki-Laki Peduli (MenCare+) yang secara khusus mempromosikan keterlibatan laki-laki dalam mempromosikan kesetaraan jender.
Dalam pelatihan ini, materi yang dibelajarkan antara lain (1) pemahaman tentang seks dan jender, (2) pemahaman mengenai maskulinitas, (3) menjawab pertanyaan mengapa laki-laki ‘pelaku’ melakukan kekerasan, (4) Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis gender (KTPBG) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); karakteristik pelaku kekerasan, pasangan dan anaknya, (5) strategi intervensi berbasiskan model ekologi, (6) model perubahan perilaku, (7) diskusi kasus dan hasil penelitian tentang laki-laki pelaku kekerasan, (8) teknik-teknik intervensi, (9) bermain peran (praktik memberikan konseling), dan (10) debriefing.
Di samping prinsip-prinsip dan teknik-teknik umum konseling yang dipelajari dalam pelatihan ini, pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai perilaku kekerasan yang menjadi target intervensi pengubahan. Diingatkan bahwa kekerasan itu berwajah banyak dan seringkali berpangkal pada relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki (budaya yang mengistimewakan laki-laki; perempuan = ‘second class’). Dengan demikian, ada hal yang spesial dari konseling ini. Program MenCare (Male Counseling) ini memandang kekerasan dalam relasi bukan hanya merupakan persoalan miskomunikasi antar pasangan (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan berkomunikasi), bukan hanya persoalan mengatasi rasa marah secara lebih asertif (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan mengelola emosi), bukan pula hanya persoalan bagaimana memperlakukan pasangan. Yang sering luput dari perhatian umum, dan ditantang untuk didefinisikan ulang adalah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya inilah yang dibedah dalam teori-teori feminis, yakni mendudukkan persoalan ketidakadilan jender pada tempatnya dan membongkar relasi yang tidak setara itu.
Pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai siklus kekerasan, serta mengapa korban banyak yang ‘memilih’ tinggal/bertahan di dalam siklus tersebut. Di samping itu, pelatihan ini membekali konselor agar memiliki keyakinan dan sikap yang optimistis mengenai perubahan perilaku dan prosesnya (walau disadari: tidak bisa serta-merta) pada sasaran intervensi, yakni laki-laki pelaku kekerasan, serta tidak lupa berjejaring dengan support systems yang sejalan dengan maksud dan tujuan intervensi. Konselor juga diajak untuk memahami kondisi sosial-kultural masyarakat yang cenderung ‘membela’ hegemoni maskulinitas dan menunjukkan tingkat ‘permisivitas’ terhadap kekerasan. Banyak pula proses legal-formal yang sebaiknya dipahami dan dipertimbangkan oleh konselor, dan oleh karena itu konselor dalam pelatihan ini dipapar dengan peraturan yang berlaku di negeri ini yang relevan dengan kekerasan dalam relasi dan konsekuensinya.
Model ekologis yang lebih komprehensif dalam memetakan sebab-sebab kekerasan memberikan bekal kepada para konselor mengenai kelebihan dan kelemahan dari berbagai penjelasan tentang kekerasan Oleh karenanya, muncul insight bahwa intervensi pun hendaknya diberikan dalam berbagai lapisan ekologi manusia. Di sinilah satu lagi letak kespesialan dari konseling ini, yakni konseling berperspektif ekologis yang menantang dominasi budaya patriarki serta memotivasi ‘power sharing antara laki-laki dan perempuan.
Konselor juga diberikan pemahaman mengenai multi-perannya, menegakkan prinsip-prinsip utama konseling, serta bagaimana mengelola dirinya. Semua ini turut dikembangkan melalui bermain peran dan simulasi, yang kemudian dievaluasi melalui sesi-sesi sharing. Yang perlu disadari adalah bahwa dinamika konseling pelaku kekerasan itu jauh lebih fluktuatif dibandingkan dengan dinamika konseling umum, sehingga persiapan dan kapasitas konselor perlu terus ditingkatkan.
Masih banyak rincian pelatihan yang dipelajari dalam konseling ini, yang tidak dapat dijabarkan satu persatu dalam kesempatan ini. Yang jelas, di akhir sesi konseling, seluruh peserta, termasuk Juneman, secara sukarela menandatangani Deklarasi Kepatuhan Pada Prinsip Kesetaraan dan Hubungan Tanpa Kekerasan. Inti dari deklarasi ini adalah pernyataan untuk mempromosikan nilai-nilai keterbukaan, tanpa kekerasan, dan masyarakat demokratis, yang didasarkan pada martabat manusia, pencapaian kesetaraan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia dan kebebasan.
Partisipasi dalam kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS University tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam pelatihan ini diwujudkan dengan komitmen memfasilitasi perubahan perilaku laki-laki pelaku kekerasan dalam rangka menyejahterakan masyarakat.
Partisipasi ini juga merupakan salah satu rangkaian dari Kegiatan Akademik Jurusan Psikologi BINUS University, yakni Kuliah-kuliah Tamu sebagai bagian dari Program Global Learning System (GLS) Mata Kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi hasil kerjasama antara Jurusan Psikologi dan Yayasan PULIH pada tanggal 10 Oktober 2014 (narasumber: Dr. Rocky Gerung – “Mereview konstruksi sosial yang dilekatkan pada laki-laki“), 24 Oktober 2014 (narasumber: Eko Bambang Subiantoro – “Mengajak laki-laki untuk terlibat pada isu stop kekerasan terhadap perempuan”), 1 November 2014 (narasumber: Dr. Nur Imam Subono – “Melibatkan laki-laki dalam mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan”) dan 8 November 2014 (Irma S Martam – “Social Marketing”), serta Seminar Gender in Justice yang diadakan oleh Mahasiswa Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64) pada 17 Januari 2015. (JA)
Pada 17 Januari 2015, Kelas Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64), Jurusan Psikologi BINUS, di bawah asuhan dosen Juneman Abraham, S.Psi., M.Si., menyelenggarakan Seminar Gender in Justice, sebagai final project dari mata kuliah ini. Audiens dari kegiatan ini adalah mahasiswa-mahasiswi di lingkungan Universitas Bina Nusantara, lebih khusus lagi dari Jurusan non-Psikologi. Seminar ini diselenggarakan di Kampus BINUS Anggrek, Exhibition Hall, Lantai 3, mulai pukul 12:30-16:30 WIB.
Latar belakang seminar ini adalah sebagai berikut: Kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan merupakan fenomena yang telah merajalela di dalam masyarakat. Namun jumlah kasus yang diketahui dan tidak diketahui berbanding sangat besar. Kasus kekerasan ini termasuk dalam fenomena gunung es (iceberg). Konsep ini menyatakan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan sebenarnya sangat banyak terjadi, namun yang ditemukan atau dilaporkan hanya sedikit. Hal ini bisa terjadi karena adanya pandangan masyarakat yang menganggap kejadian di dalam keluarga merupakan privasi dan masyarakat tidak berhak ikut campur tangan. Ada juga pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa apabila perempuan menerima perlakuan kasar dalam hubungan suami-istri, itu merupakan hal yang wajar dan merupakan kesalahan perempuan dan perempuan memang berhak menerima itu.
Namun, apakah perlakuan kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang biologis dan kodrati? Apakah merupakan hal yang secara genetis dan ekologis diberikan kepada kaum? Apakah perempuan memang kodratnya untuk menerima semua kekerasan itu? Tentu saja tidak! Semua pandangan yang mendukung dominasi dan ‘hak’ untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah konstruksi. Menurut Malamuth, konstruksi yang menginisiasi pandangan dan pemikiran tersebut merupakan konstruksi kultural yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri yang mempengaruhi pemikiran dan pandangan anggota masyarakat secara umum, Konstruksi kultural ini mendukung dan mendorong tumbuhnya agresivitas dan memandang penggunaan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri, dan bahwa perempuan harus menerima itu.
Melihat masalah tersebut, sebagai final project dari mata kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi, mahasiswa kelas LA64 jurusan Psikologi BINUS University mengadakan sebuah program intervensi terhadap mahasiswa dan mahasiswi BINUS University dengan tema ‘Gender in Justice‘, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dan mahasiswi BINUS University terhadap ketidakadilan jender yang ada di dalam masyarakat, serta ingin terlibat dalam pemberian intervensi terhadap masalah yang sebenarnya merupakan kesalahan persepsi yang dibentuk oleh konstruksi sosial.
Tujuan seminar ini adalah: (1) Mengaplikasikan program intervensi sebagai final project mata kuliah Psikologi Intervensi dan Psikologi Sosial, (2) Meningkatkan kesadaran mahasiswa dan mahasiswi BINUS University terhadap adanya ketidakadilan jender di dalam masyarakat, (3) Meningkatkan keterlibatan mahasiswa dan mahasiswi BINUS University untuk melakukan intervensi terhadap ketidakadilan jender di dalam masyarakat. Mahasiswa dan mahasiswi diajak untuk terlibat dalam penegakan keadilan, dan perlawanan terhadap pembenaran persepsi mengenai jender yang merugikan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial selama berabad-abad. Seminar ini diharapkan bukan saja dapat membuka persepsi baru mengenai posisi dan situasi kaum perempuan di masyarakat yang bersistem patriarkis pada umumnya, tetapi juga mengajak kaum pria untuk lebih aktif lagi peduli dalam permasalahan ini.
Seminar ini menghadirkan pembicara Norcahyo Budi Waskito, S.Psi., M.Si. dari Yayasan PULIH. Beliau merupakan alumnus program S1 dan S2 Psikologi, Universitas Indonesia,, dan Koordinator Program MenCare di Yayasan PULIH, dengan aktivitas utama: “Engaging men to stop violence against women and children collaborating with some universities (for media campaign, lecturer, youth group education), media (for media campaign), health institution (for parenting class)”. Beliau memiliki pengalaman sebagai konsultan di Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI (Psychosocial Practitioner Course Curriculum and Module Development), di American RedCross (Material Development – Psychological first aid/PFA, Self Care, Domectic Violence, Reproductive Health, Separated Children etc), dan di MPBI (Masyarakat Penanggulangan Indonesia). Ia pernah menjadi trainer dan researcher dengan topik-topik Psychosocial and PFA in Emergency, Crisis Intervention, Psychosocial Group Structured Activity for Child Refugee, Community based Psychosocial Recovery for Women, dan Children Psychosocial Well-being.
Kegiatan Seminar Gender in Justice diawali dengan pemutaran video pendek yang telah dibuat oleh Kelas LA64.
Setelah pemutaran video, Seminar dibuka secara resmi oleh Juneman Abraham, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Koordinator (SCC) Psikologi Komunitas Jurusan Psikologi BINUS University.
Setelah pembukaan acara, Wakil Ketua Panitia, Nurlailad Baderiyah, memberikan kata sambutan.
Acara ini dipandu oleh MC, Chika Andina dan Mazaya Dwina, dan moderator Marcellino Yohanes.
Dalam paparannya, narasumber, Mas Cahyo (panggilan akrab Norcahyo) menyampaikan poin-poin sebagai berikut:
Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) merupakan “Segala tindakan kekerasan berbasis gender memberikan dampak melukai secara fisik, seksual atau mental atau menimbulkan penderitaan pada perempuan, termasuk didalamnya tindakan mengancam, memaksa maupun merampas kebebasan; baik yang dilakukan dalam ruang publik maupun personal/ privat” (definisi PBB).
WHO (Fact sheet No: 239) per Oktober 2013 menunjukkan bahwa: (a) 1 dari 3 perempuan dunia (35%) pernah mengalami kekerasan dari pasangan maupun kekerasan seksual yang dilakukan bukan oleh pasangannya; (b) 1 dari 3 perempuan yang punya pasangan (30%) pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangannya.
Catahu Komnas Perempuan 2013 menyatakan bahwa telah terjadi: (a) 279.760 kasus KtP di seluruh Indonesia; (b) 2.881 kasus KtP di DKI Jakarta; (c) 270.833 kasus kekerasan terhadap istri; (d) 2.507 kasus kekerasan dalam pacaran.
Penelitian Partner for Prevention (P4P, UN) tahun 2013 di 6 Negara di Asia Pasifik terhadap 10.178 laki-laki dan 3.106 perempuan usia 18-49 tahun: (a) 26 – 80 % laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik atau seksual pada pasangannya; (b) 10-62 persen pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan.
Penelitian P4P tahun 2013 di Indonesia terhadap 2.577 laki-laki usia 18-49 tahun di 3 wilayah (Jakarta, Purworejo, Jayapura): (a) 25-60 % di Indonesia pernah melakukan kekerasan fisik atau seksual pada pasangannya, (b) 17-43 % pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan.
Faktanya adalah: Pelaku kekerasan terhadap Perempuan adalah LAKI-LAKI. Meski tidak semua laki-laki pelaku kekerasan, bahkan umumnya mereka tidak mendukung kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap Perempuan bisa menimpa siapa saja termasuk perempuan-perempuan yang dekat dengan kita, seperti ibu, adik, kakak, anak, pacar, istri dll
Dampak Kekerasan terhadap Perempuan tidak hanya pada penyintas namun juga berimbas pada lingkungan sekitar (termasuk laki-laki yang berada di lingkungan terdekat dengan penyintas).
Laki-laki secara umum harus ikut bertanggungjawab karena (a) sebagian besar pelaku KtP adalah laki-laki, (b) perilaku kekerasan identik dengan laki-laki, (c) jumlah penghuni tahanan sebagian besar laki-laki.
Pada umumnya laki-laki bisa memahami dan memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap sikap, tingkah laku dan persepsi mereka sendiri.
Laki-laki dewasa biasanya menjadi model atau taudalan bagi anak laki-laki yang lebih muda dan masih bocah.
Peran strategis laki-laki untuk melakukan perubahan (posisi laki-laki dalam budaya patriarki, pengambilan keputusan/kebijakan masih didominasi oleh laki-laki).
7P Kekerasan Laki-Laki (Kauffman, Michael. 1999. The 7 P’s of Men’s Violence): (1) Kekuasaan Patriarki, (2) Privilege, (3) Permission, (4) Paradoks Kekuasaan laki-laki, (5) Psychic Armor of Manhood, (6) Psychic Pressure Cooker, dan (7) Pengalaman Masa Lalu.
Budaya Patriarki (patri-arkat): Budaya yang dibangun dalam di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi (hirarki) dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Peran laki-laki sebagai penguasa, sentral. Sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara (menggunakan kekerasan sebagai alat mendominasi).
Bentuk kekerasan yang dilakukan laki-laki bukan sekedar untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap orang lain tapi juga ditimbulkan oleh perasaan atau pemahaman bahwa ia (sebagai laki-laki) memiliki hak-hak istimewa tertentu dalam hidupnya.
Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki tidak akan berlanjut bila tidak ada “reward” dari lingkungan (orang lain) dalam bentuk bentuk pembiaran (sikap persetujuan secara tidak langsung) dari norma sosial, penegakan hukum dan bahkan pendidikan agama.
Cara laki-laki mengkonstruksi kekuasaan individual dan sosialnya ternyata secara paradoks merupakan sumber ketakutan, terisolasi, rasa tidak percaya diri, dan kesakitan bagi laki-laki itu sendiri.
Karakter kelaki-lakian dibentuk dari pengalaman masa kecil yang sering diwarnai dengan ketidakhadiran ayah/ laki-laki dewasa, kehadiran figur yang meneladani perilaku yang tidak positif atau yang berjarak secara emosional dengan anak (karakter kelaki-lakian yang muncul seperti “tameng” ego yang kaku).
Konsep maskulinitas untuk kuat, tegar, tidak cengeng dsb membuat laki-laki menekan ekspresi perasaan untuk memenuhi konsep tersebut (tuntutan maskulinitas). Pola represi ini tetap harus tersalurkan, maka muncul dalam bentuk kekerasan.
Laki-laki yang mengalami atau hidup dalam lingkungan yang penuh kekerasan cenderung berpeluang lebih besar untuk memunculkan perilaku kekerasan (mempelajari bahwa cara-cara kekerasan merupakan coping strategy, upaya mendapatkan perhatian, strategi mengelola emosi).
Lebih lanjut, Mas Cahyo menjelaskan tentang “The Triad of Men’s Violence” (Tritunggal Kekerasan Laki-laki), Mitos Laki-Laki & Maskulinitas, Citra Laki-Laki yang Dipromosikan, serta Model Integratif Maskulinitas dan Bagaimana Cara Laki-Laki Melibatkan Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan.
Citra laki-laki yang seharusnya dipromosikan (Michael Flood, 1998): (1) Male-positive, keyakinan laki-laki bahwa mereka bisa berubah, dan juga memberikan dukungan setiap upaya laki-laki untuk melakukan perubahan, (2) Nilai pro-feminist, yakni laki-laki yang memiliki tekad (committed) untuk selalu melawan penindasan terhadap perempuan, seksisme, dan ketidakadilan gender, (3) Marginalized-affirmative. Laki-laki selalu mempunyai tekad untuk menentang segala bentuk prasangka terhadap kalangan marjinal atau minoritas baik karena orientasi seksual, ras dan etnis, maupun transeksual, (4) Memberi ruang pada aktualisasi perempuan, dan (5) Berani mendobrak mitos.
Bagaimana Cara Laki-Laki Melibatkan Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan? (1) Berpikir terbuka terhadap isu KtP dan pelibatan laki-laki sebagai mitra untuk menghentikannya, (2) Carilah informasi tentang KtP dan pahami isu ini dengan sebaik-baiknya, (3) Terlibat dalam gerakan yang menghentikan KtP (menghentikan bila melihat, melaporkan pada pihak berwenang, membuat gerakan menghentikan KtP, menggalang dana, membagi informasi dan kegiatan kontribusi pikiran, tenaga dan dana lainnya), (4) Jadi teladan/ role model bagi laki-laki lain (teman sebaya, kakak kelas, adik kelas, teman di lingkungan) untuk berani berubah menanggalkan citra laki-laki ideal lama dan lebih menghargai perempuan, (5) Proaktif menghentikan KtP di rumah, sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, dan (6) Ajak teman sebaya atau orang lain untuk melakukan perubahan dan terlibat dalam upaya penghentian KtP.
Program intervensi berupa seminar ini dilakukan bersamaan dengan penggunaan media-media berupa internet dan media sosial (Blogspot, Twitter, Instagram), media cetak (banner, stiker, poster, dan self-help book), aksesoris (pin), media elektronik (B-Voice Radio), dan Mini Counseling.
Peserta seminar ini juga diminta untuk mengisi kuesioner sebagai sarana untuk mengetahui efektivitas seminar dan kanal intervensi lainnya.
Di akhir acara seminar ini, Juneman Abraham menyerahkan Sertifikat tanda terima kasih kepada Mas Cahyo selaku narasumber, dan Mas Cahyo memberikan sejumlah kenang-kenangan berupa buku-buku, pin, dan kaos dari Yayasan Pulih/MenCare Program (Laki-laki Peduli) kepada para penanya.
Panitia seminar ini masih akan berhubungan dengan peserta seminar yang membutuhkan mini counseling.
Kegiatan final project matakuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi Kelas LA64 ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS UNIVERSITY tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam seminar ini diwujudkan dengan melawan ketidakadilan jender dalam rangka menyejahterakan masyarakat, dimulai dari lingkungan BINUS University.