“Psikologi Korupsi” memang mudah diucapkan, bahkan dituliskan. Kendati demikian, apakah kita bersedia melakukan penyelidikan mendalam terhadapnya? Maukah kita ikut ambil bagian di dalamnya?
Nah, kali ini (24 Juli 2020) kami membincangkannya bersama PsychologyIsUs, sebuah kanal yang memperoleh coverage dari The Peace Psychologist, Divisi ke-48 dari organisasi profesi psikologi terbesar di dunia, American Psychological Association (APA).
Selamat menikmati perbincangan kami, dan, sekali lagi, mari kita bersama!
Pada 20 Juli 2020, saya menjadi pembicara pelatihan “Penulisan Artikel Ilmiah” yang diselenggarakan oleh GreatNusa Universitas Bina Nusantara.
Saya menggunakan tajuk/brand GRAPE, yaitu Good Research and Publication Practices. Kali ini adalah Seri 2, setelah sebelumnya berlangsung GRAPE Seri 1 melalui platform GreatNusa.
Yang istimewa dari pelatihan ini adalah jumlah peserta dalam sebuah kelas mini (sembilan dosen/faculty members BINUS University).
Materi yang saya susun juga lebih customized karena saya susun berdasarkan artikel para calon peserta yang saya minta untuk dikirimkan kepada penyelenggara kegiatan.
Berikut ini adalah dokumentasi kegiatan serta respons para peserta.
Yang ditekankan Prof. Ronny adalah bahwa Reviewer/Penilai Program Kreativitas Mahasiswa merupakan sebuah Profesi, sehingga pekerjaan-pekerjaanya diikat oleh kode etik profesional.
Memublikasikan artikel pada jurnal internasional bereputasi menjadi satu tantangan. Hanya artikel berkualitas yang akan dipublikasikan. Untuk itu, diperlukan kiat dan strategi agar tulisan dapat memikat hati editor dan reviewer. Merespon kebutuhan penulis artikel, Perkumpulan Pengelola Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya (PPJB-SIP) mengadakan webinar “Kiat Sukses Menulis Artikel Internasional Bereputasi Bidang Pendidikan, Bahasa, dan Sosial” yang telah dilaksanakan pada tanggal 16 Juli 2020, pukul 12.30-16.00 WIB.
Sebuah pemberitaan di Nature News akhir-akhir ini mengenai akan berhentinya operasi INA-Rxiv (setidaknya untuk sementara waktu), membuat saya ingin berkomentar sejumlah hal dalam bahasa Inggris 🙂
As someone who has posted papers on the archive, and as a social psychologist and open science activist, the shutting down of INA-Riv has a number of meanings:
1) I lost an important source for immediately accessing the results of Indonesian-language research. Thus, the preparation of state-of-the-art of any research that has an Indonesian context will experience a slowdown. As known, not many osf.io servers accept Indonesian-language manuscripts. For example, when I submitted an Indonesian text to SocArxiv, I received a reply as follows: “Thank you for contributing to SocArxiv and open science. Unfortunately, we are currently only depositing manuscripts written in English.”
2) However, on another side, the shutting down is a “blessing in disguise”, which will cultivate self-archiving at various levels in Indonesia, both individuals, institutions, and the country. So far, INARxiv’s popularity has made INARxiv a kind of favored, “central” of Indonesian self-archiving site. The shutting down triggers decentralized practices of self-archiving among Indonesian citizens.
3) The shutting down shows that the practice of open science (self-archiving is a part, in this context) requires a national policy that is able to support strongly the practice, especially in terms of funding. So, the shutting down may be at the same time an “anti-thesis” of the statement that “With the research fund that is not yet large, it is time for the Indonesian government to adopt an open science policy”.
As it turns out, open science requires sustainable funds, and it has not been discussed much at the national level. If it is true that the Ministry of Research and Technology of the Republic of Indonesia views open science as important, as revealed by Indonesian public official statement (Dr. Muhammad Dimyati, the Directorate General of Research and Development of the Ministry of Research, Technology, and Higher Education of Indonesia), “The development needs to continue to work hard and try smartly through the use of the nation’s ‘festivity’ to welcome the era of Industry 4.0 and the spirit of open science that continues to surge, in order to increase productivity and relevance of research in Indonesia “, then the Ministry needs to endorse it in earnest, including the provision of budgets in the Indonesia State Budget, or strive it for from another funds collaborative sources.
4) Before shutting down of INARxiv, I dreamed that INARxiv could become one of the repositories of academic manuscripts (“Academic Draft”) of Indonesia’s public policies/Laws; so that in Indonesia there will be not only academic citation but also policy citation. During this time, academic manuscripts of national regulations produced by Indonesian legislative and executive bodies have included References to research results (for example, Academic Draft of the Law on the Elimination of Sexual Violence). However, because these academic manuscripts are not archived in a repository, the extensive use of Indonesian research by the Indonesian Government in preparing public policies can not be detected at this time. I hope that there will be that kind of repository initiative born after the shutting down of INARxiv (as an alternative, in Indonesia, to Altmetric which detects policy documents, mostly in English-language, that cited relevant research).
5) I would say that, although I have no formal links with INA-Rxiv (What I mean by formal ones is the Steering Committee stated in INARxiv.id ), I am one of its proponents: As a social psychologist, I wrote – with other authors – the Discussion part of “INA-Rxiv: The Missing Puzzle in Indonesia’s Scientific Publishing Workflow” by using psychological perspective.
Specifically, on Page 4 of that manuscript, I gave a psychological basis for understanding people’s attitude and behavior towards INA-Rxiv. For the first time, I think, the attitude and behavior towards the open science practice on preprint server is discussed with fixed vs growth mindset concept of Carol Dweck.
The article might also be the only one “academic manuscript” of INARxiv published in mainstream scientific journal, as you can confirm in the Reference section of this Wiki.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, INA-Rxiv memerlukan rebranding.
Usulan awal saya utk nama adalah INARxiv RT
Saya ambil dari kata kunci yang Kang Erwin uraikan mengenai “mengubah” (transformasi) riset menjadi kebijakan.
RT = Research Transformer (/transforming)
RT sebenarnya juga mengingatkan kita dgn Rukun Tetangga yang khas Indonesia (artinya: mengutamakan kolaborasi bersama ketimbang kompetisi).
Meski RT juga sudah populer lebih dulu dengan ungkapan Retweet. Hal ini menguntungkan sebab hal ini berarti INARxiv akan di-RT terus-menerus (digaungkan), diperkuat, digunakan inspirasinya.
Lebih lanjut, karena INARxiv dibacanya terlanjur dalam bahasa Inggris ( INA aar kaiv ); maka membaca INARxiv RT adalah ( INA aar kaiv ar ti ). Bisa diasosiakan: Membuat Riset menjadi berarti (bermakna, meaningful). Ini agak “arbitrer” tapi bisa juga melekat di benak publik seperti itu kalau disosialisasikan.
Yah itulah usulan awal dengan beberapa “pertanggungjawaban” penamaan tersebut.
Mas Ilham memberikan masukan utk menambah angka versi utk mengetahui perjalanan dari apa sampai mana; Mas Ilham sampaikan contoh “MarXiv ganti branding dgn MarXiv 2.0. Saya lihat INArxiv sudah diketahui secara luas oleh dunia. Ini modal cukup bagus. Jadi hemat saya INArxiv sudah punya Top of mind bagi para author.” Pak Hendro Subagyo dari LIPI menanggapi bahwa nama LIPI tidak perlu diikutkan. Kita cukup puas di website ada tulisan “supported by LIPI ….”
Kang Erwin menyampaikan agar nama LIPI atau RIN tetap di depan. Dan, RT sudah sesuai dengan kebutuhan “Kita memang perlu punya nama yang mudah disebutkan dalam Bhs Inggris”.
Meskipun Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah nama, saya memang senang mengusulkan dan melihat nama-nama yang indah. Untuk itu, saya mengusulkan, sebelum ini, nama-nama sebagai berikut:
Anjani adalah nama seorang dewi yang hidupnya menggambarkan dinamika perilaku moral. Dikutip dari sini : “Dewi Anjani berparas sangat cantik dan menarik hati. Ia memiliki Cupumanik Astagina pemberian ibunya, hadiah perkawinan Dewi Indradi dari Bathara Surya. Bila cupu itu dibuka di dalamnya akan dapat dilihat segala peristiwa yang terjadi di angkasa dan di bumi sampai tingkat ketujuh. … Untuk menebus kesalahan dan agar bisa kembali lagi menjadi manusia, atas petunjuk ayahnya, Dewi Anjani melakukan tapa Nyantika (seperti katak) di telaga Madirda. Dalam tapanya itulah ia hamil karena menelan “air kama” Bathara Guru melalui selembar daun sinom. … Dewi Anjani kemudian melahirkan jabang bayi berwujud kera putih yang diberi nama Anoman. Beberapa saat setelah melahirkan Anoman, Dewi Anjani mendapat pengampunan Dewa, ia kembali menjadi putri berparas cantik, dan diangkat ke kahyangan Kaindran sebagai bidadari.”
Sedangkan, ‘Anjungan’ adalah: “ruang komando kapal di mana ditempatkan roda kemudi kapal, peralatan navigasi untuk menentukan posisi kapal berada dan biasanya terdapat kamar nakhoda dan kamar radio. Anjungan biasanya ditempatkan pada posisi yang mempunyai jarak pandang yang baik kesegala arah.”
Bukankah ini sebuah perintis jalan bagi komunitas psikologi kita?
NILA (Nuances of Indonesian Language) – Februari 2020
Menanggapi diskusi di WhatsApp Group PPJB-SIP (Perkumpulan Pengelola Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya), di mana saya merupakan salah seorang anggota Dewan Pakarnya, terkhusus memberikan tanggapan terhadap Bapak Wahyudi Rahmat mengenai maksud perlu diadakannya sebuah jurnal baru, saya menyampaikan ihwal sebagai berikut:
Istilah language nuances saya pelajari dari sini : Language Nuances and Socioeconomic Outcomes (maknanya bisa luas) setelah mencoba memahami diskusi teman-teman. Jadi naskah akademik sebagai pertanggungjawaban nama lebih-kurangnya sudah ada, bisa merujuk ke artikel tersebut. Ada juga artikel ini : Language nuances, trust and economic growth. Penggunaan istilah language nuances juga ternyata relevan di dunia ICT era 4.0 ini. Misalnya, guna menunjukkan “perjuangan” teknologi untuk menangkap “dunia manusia”: Can machines cope with language nuances?
RESEARCH LEADER: Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.
INTRODUCTION: Korupsi dan Dimensi Psikologis-Sosialnya
Tiadanya definisi yang disepakati bersama
tentang korupsi telah menyebabkan fragmentasi dalam studi-studi tentang
korupsi. Berdasarkan penyelidikan yang ekstensif terhadap literatur, ditemukan
“benturan” antara definisi korupsi menurut hukum nasional dan definisi
subjektif dan/atau definisi sosial. Korupsi merupakan ajang kontestasi
pemaknaan (“Corruption is a site for contested meaning“)
(Pavarala, 1993, h. 145). Sementara itu, konseptualisasi tentang korupsi itu
sendiri bersifat evolutif; artinya, sesuatu yang tidak dianggap koruptif pada
suatu masa, mungkin dianggap koruptif pada masa-masa berikutnya (Farrales,
2005). Mencermati pluralisme definisi dan jenis-jenis korupsi sepanjang
sejarah, peneliti memandang perlu untuk melakukan studi khusus tentang ragam
definisi korupsi dalam konteks Indonesia. Di samping itu, penting juga untuk
mengetahui variabel-variabel apa saja yang mampu memprediksi perilaku koruptif,
terutama karena riset dengan pendekatan psikologis masih sangat langka.
Masalahnya, perilaku Koruptif adalah sesuatu yang socially undesirable
(jelas-jelas atau nyata-nyata bertentangan dengan norma, sehingga dapat
memancing jawaban palsu dalam kuesioner), sehingga perlu metode untuk
menangkapnya melalui konstruk Emosi Moral (Tendensi Korupsi; yakni Guilt and
Shame Proneness, kecenderungan untuk merasa bersalah dan malu jika
melakukan perbuatan yang tidak etis atau mengarah pada tindakan koruptif).
Pertanyaan Penelitian yang pertama:
Bagaimana representasi sosial tentang korupsi pada masyarakat Indonesia?
Berbagai penjelasan teoretik tentang korupsi belum banyak mengintegrasikan
perspektif diri (self) dengan perspektif sosial dalam sebuah mekanisme
yang mumpuni menjelaskan tingkah laku koruptif. Oleh karenanya, muncullah
pertanyaan penelitian yang kedua: Bagaimana mekanisme psikologis
tindakan korupsi? Kerangka Berpikir: “Mereka Pidato Antikorupsi, tetapi
Uang Negara Dirampok Terus” (Usman Hamid dalam Kompas, 4 Desember 2012).
Mengapa? Penelitian ini menduga bahwa tindakan koruptif dihasilkan melalui mediasi
inauthentic/counterfeit self. Ketidakotentikan berarti bahwa orang
bertindak dengan cara-cara yang tidak asli guna menghindar dari devaluasi
relasional (Leary, 2003). Diri (self) terorganisasikan di seputar peran
(roles) seseorang (Cooley, 1902). Pengambilan peran adalah sebuah proses
mengantisipasi respons interaksional dari orang lain. Dalam penelitian ini,
operasionalisasi mekanisme counterfeit self (diri yang palsu) adalah
berupa: perilaku palsu (charlatan behavior/charlatanism), perilaku
gemar membanding-bandingkan diri dengan orang lain (social comparison), diri
sebagai produk pelanggaran kontrak psikologis (psychological contract
violation), tiadanya makna dalam bekerja (meaningless work), serta
konsumsi tidak etis (unethical consumption) berupa perilaku tan-mudarat
tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF).
METHODOLOGY/ SYSTEM DESIGN/ PROPOSED METHOD
Penelitian tahun pertama (2015)
menggunakan metode kuantitatif: survei, cross-sectional study. Desain
penelitian ini adalah desain korelasional, noneksperimental, prediktif. Total
partisipan penelitian ini berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi
jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada
bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling,
sebuah teknik penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di
Jakarta dan dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain: Skala pengukur organizational charlatan behavior yang
diadaptasikan dari Parnell and Singer (2001), skala pengukur GASP (guilt and
shame proneness) yang diadaptasikan dari Cohen et al. (2011), Skala
pengukur identitas moral yang diadaptasikan dari Aquino and Reed II (2002), Skala
pengukur no harm no foul behavior yang diadaptasi dari Vitell and Muncy
(sebagaimana dikutip dari Chowdhury & Fernando, 2014), Skala pengukur
motivasi utilitarian dan hedonik yang diadaptasikan dari Kim (2006), Skala
otentisitas diri yang diadaptasikan dari Kifer, Heller, Perunovic, dan Metode
Galinsky (2013) serta Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008)
tentang self-alienation (counterfeit self), serta Skala pengukur
perbandingan sosial yang diadaptasikan dari Geurts, Buunk, and Schaufeli (1994)
dan yang dikembangkan oleh Michinov (2005). Total
partisipan penelitian Tahun Kedua (2016) berjumlah lebih dari 2000 orang dengan komposisi
jenis kelamin hampir berimbang (50% laki-laki, 50% perempuan; detail pada
bagian Hasil), yang direkrut dengan menggunakan teknik convenience sampling, sebuah teknik
penyampelan yang lazim digunakan dalam bidang ilmu psikologi, di Jakarta dan
dua propinsi lainnya. Instrumen yang digunakan: Skala otentisitas diri yang
diadaptasikan dari Wood, Linley, Maltby, Baliousis, dan Joseph (2008), skala
Kontrak Psikologis dari Turnley (1997) yang diadaptasikan oleh Boes (2006),
serta serta skala makna kerja Comprehensive
Meaningful Work Scale (CMWS) dari Lips-Wiersma and Wright (2012). Data penelitian ini dianalisis
dengan analisis deskriptif dan ekstraksi satuan makna untuk mengenali frekuensi
ungkapan yang keluar dari benak (top of mind) dari partisipan, dengan
alat bantu IBM Text Analytic, serta analisis regresi linear berganda untuk
mengetahui kemampuan prediksi dari variabel prediktor terhadap perilaku
koruptif, dengan alat bantu IBM SPSS.
RESULTS
Atas pertanyaan penelitian tahun pertama
(2015), melalui analisis deskriptif (N = 2104; 1010 laki-laki, 1094 perempuan; yang terdiri atas
kelompok mahasiswa, pegawai, dan pemuka agama), ditemukan bahwa makna korupsi
yang melekat dalam benak masyarakat adalah: (1)
Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan pribadi, (4)
Tindakan, dan (5) Negara. Di samping itu (1) organizational charlatan behavior
(perilaku palsu/tidak otentik di perusahaan) tidak mampu memprediksikan emosi
moral rasa malu, lebih dikarenakan domain yang berbeda antar variabel (yang
satu dalam konteks organisasi, sedangkan yang lain dalam konteks kehidupan
umum, sehingga generalisasi tidak terjadi), namun identitas moral mampu
memprediksikannya (sampel: 111 laki-laki, 97 perempuan; pegawai negeri dan
swasta); (2) perbandingan sosial (social comparison) mampu memprediksikan
dimensi emosi moral rasa malu (yakni evaluasi diri negatif dan tendensi mengundurkan
diri setelah melakukan perbuatan yang memiliki tendensi koruptif), dalam arah
negatif (sampel: 99 laki-laki, 104 perempuan; karyawan swasta); (3) perilaku
tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior) mampu diprediksikan oleh
motivasi konsumsi utilitarian, sedangkan motivasi hedonik tidak mampu
memprediksikannya (sampel: 148 laki-laki, 72 perempuan; mahasiswa). Untuk
memperoleh konfirmasi akhir, dilakukan analisis regresi linear berganda, yakni
prediktor (variabel independen: authentic self, sebagai lawan dari
inauthenticity/counterfeit self) terhadap kriterion (variabel dependen: emosi
moral). Ditemukan bahwa, sejalan dengan hasil-hasil sebelumnya, semakin tinggi
otentisitas (tidak berstatus/berkeadaan counterfeit) diri seseorang,
semakin tinggi pula shame (rasa malu) dan guilt (rasa bersalah)
atas perbuatan tak etis, sehingga semakin rendah kecenderungan untuk melakukan
korupsi (sampel: 293 laki-laki, 268 perempuan; mahasiswa dan karyawan).
Atas
pertanyaan penelitian yang kedua (2016), ditemukan bahwa pelanggaran kontrak
psikologis dapat memprediksi evaluasi perilaku negatif (Guilt-Negative Behavior Evaluation), perilaku memperbaiki kesalahan
(Guilt-Repair), evaluasi diri negatif
(Shame-Negative Self Evaluation),
namun tidak dapat memprediksikan perilaku menarik diri (Shame-Withdrawal) (Sampel: 273 karyawan perbankan). Ditemukan pula bahwa Ketiadaan makna kerja
(sebagai bentuk counterfeit self)
dapat memprediksikan mayoritas emosi moral, sebagai wujud tendensi koruptif,
dalam arah negatif (sampel: 210 pekerja sektor swasta). Untuk memperoleh
konfirmasi akhir, dilakukan analisis faktor konfirmatori. Ditemukan bahwa, dari
1655 siswa-siswi sekolah menengah di Kalimantan dan Sulawesi yang dijadikan
sampel penelitian, Alienasi Diri serta Kehidupan yang tidak Otentik merupakan
faktor-faktor penyusun Diri yang Palsu (Counterfeit
Self). Namun demikian, Penerimaan terhadap Pengaruh Eksternal/Orang lain
tidak dipandang oleh partisipan penelitian sebagai faktor yang penting untuk
menghasilkan Diri yang Palsu.
Diskusi Ringkas: Secara umum ditemukan bahwa counterfeit self menurunkan
tendensi untuk berperilaku etis, atau dengan perkataan lain, meningkatkan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku koruptif. Kendati demikian, perlu
ditelisik rincian hasil penelitian ini. Pertama, organizational
charlatan behavior sebagai salah satu dimensi yang dihipotesiskan
menghasilkan diri yang palsu tidak mampu memprediksikan tendensi koruptif yang
dalam penelitian ini diwakili oleh emosi moral. Temuan ini diduga oleh peneliti
lebih disebabkan oleh perbedaan konteks antara prediktor (di ranah perusahaan)
dan kriterion (emosi moral dalam berbagai ranah kehidupan); namun identitas
moral yang membentuk moral self mampu memprediksikan emosi moral itu. Kedua,
semakin seseorang berhasrat membandingkan dirinya dengan orang lain, dan
semakin ingin orang selalu menjadi orang yang berada di atasnya, menggambarkan
ia tidak mampu menjalani kehidupan yang otentik, dan sebagai akibatnya, emosi
moral (rasa bersalah dan rasa malu)-nya mengalami erosi/degradasi jika
melakukan perbuatan yang tidak etis dan mengarah pada korupsi. Ketiga,
perilaku yang sepintas baik-baik saja namun sebenarnya tidak etis bagi sebagian
orang (no harm no foul behavior) dapat diramalkan oleh motivasi konsumsi
seseorang yakni motivasi utilitarian. Keempat,
pekerjaan yang tidak dimaknai akan berimplikasi pada melemahnya emosi moral. Kelima,
pelanggaran kontrak psikologis yang dialami pekerja membuat karyawan berpikir
untuk memulihkan rasa keadilannya, justru dengan meningkatnya tendensi untuk
berbuat koruptif. Akan halnya dengan representasi sosial tentang
korupsi, hal yang paling diingat orang tentang makna korupsi adalah (lima
teratas): (1) Berhubungan dengan orang lain, (2) Mencuri, (3) Kepentingan
pribadi, (4) Tindakan, dan (5) Negara.
Manfaat penelitian: Berbagai persepsi masyarakat mengenai arti korupsi sangat penting untuk
diketahui karena dengan persepsi lah manusia membentuk pengertian dan
memberikan penjelasan tentang dunia secara koheren, masuk akal, dan bermakna,
serta merencanakan perilaku yang dianggap tepat sesuai dengan persepsi yang
terbangun. Berdasarkan hasil penelitian, nyata benar bahwa pesan kampanye anti
korupsi yang paling efektif bagi orang Indonesia adalah pesan dengan
karakteristik menekankan pengaruh destruktif (merusak) dari korupsi terhadap orang lain. Sebagai contoh, “With Corruption Everyone Pays” lebih
efektif daripada pesan-pesan seperti “Berani
Jujur Itu Hebat”, “You can stop
corruption”, “Corruption is deadly”,
“Penyakit terburuk di dunia ini adalah Korupsi”. Di samping itu, setelah mengetahui bahwa organizational
charlatan behavior mungkin mempengaruhi tendensi koruptif (khususnya dalam
konteks perusahaan, bukan dalam konteks kehidupan umum), pengetahuan ini dapat
digunakan untuk menyusun teknologi keperilakuan untuk mengubah kognisi, afeksi,
dan konasi pegawai/karyawan perusahaan agar tidak terjebak pada perilaku
“pura-pura”, melainkan mengembangkan sikap dan perilaku yang asli dan
tulus. Perusahaan juga dapat mengambil manfaat dengan menyusun metode guna
mendeteksi perilaku-perilaku palsu yang seringkali “halus dan tak
terlihat” ini, untuk mencegah korupsi di perusahaan mereka. Namun
demikian, hal ini ternyata perlu diteliti lebih lanjut karena kekuatan
prediktifnya diduga dimoderasi oleh konteks. Orang bukan bermoral selamanya,
juga bukan tidak bermoral selamanya. Setelah mengetahui bahwa perilaku
membanding-bandingkan diri dengan orang lain dapat mempengaruhi tendensi
korupsi, perlu diciptakan mekanisme pengingat dalam diri bahwa perbandingan
dengan yang lebih baik seyogianya menghasilkan motivasi untuk menjadi lebih
baik asalkan tidak menempuh jalan pintas. Di samping itu diingatkan kembali
kebijaksanaan hidup sehari-hari bahwa pembandingan diri dengan orang lain hanya
akan menghasilkan perasaan tidak puas, bahkan menjadi akar kejahatan, dan
mengarah pada ketidakbahagiaan. Motivasi utilitarian yang sehat dalam bidang
konsumsi perlu ditanamkan dan diteguhkan dalam diri apabila kita ingin
melakukan prevensi perilaku tan-mudarat tan-buruk (no harm no foul behavior/NHNF)
yang dapat mendorong perilaku tidak etis lebih lanjut. Dalam dunia konsumsi,
motivasi utilitarian akan membuat konsumen melakukan perhitungan yang masak
sebelum melakukan sebuah tindakan, serta tidak akan mengedepankan instanisme
dan impulsivitas, termasuk NHNF.
Setelah mengetahui
bahwa defisit makna kerja dapat membawa pada tendensi untuk berperilaku
korupsi, maka perusahaan dapat menyusun program untuk menyelidiki makna kerja
calon karyawan sejak mulai dari proses rekrutmen, sekaligus memelihara dan
meningkatkan makna kerja itu sepanjang periode kerja karyawan. Demikian pula,
setelah mengetahui bahwa pelanggaran kontrak psikologis ternyata membuat
karyawan merasa berhak untuk berbuat korupsi, maka atasan perlu senantiasa
memperhatikan harapan tidak tertulis dari para karyawannya, dan mengelola
aspirasi-aspirasi mereka agar mereka tidak merasa diperlakukan tidak adil dan
mencari “keadilannya sendiri” dengan korupsi. Setelah diketahui bahwa
faktor-faktor penyusun diri yang palsu ternyata termasuk: mengalienasikan diri (terpisah
dari diri yang asli), dan kehidupan yang tidak otentik, maka untuk mencegah
korupsi, orang perlu selalu senantiasa untuk diingatkan mengenai nilai-nilai
fundamental dari dirinya, untuk berjalan searah dengan nilai-nilai tersebut,
bukannya melebih-lebihkan keadaan hanya untuk menjaga citra atau presentasi
diri dalam pandangan sosial. Banyak tindakan korupsi ternyata berasal dari
keinginan untuk dihargai oleh orang lain, sehingga melupakan nilai-nilai moral
diri. Namun demikian penelitian ini juga menunjukkan bahwa, dalam psike orang
Timur (Indonesia, dalam hal ini), penemuan diri (atau, kultivasi diri) juga
dapat memperoleh masukan dari orang lain. Orang lain tidak selalu “mencemari”
diri kita sehingga diri kita menjadi tidak asli. Masukan dari orang lain
mengalami seleksi dan penyaringan untuk membangun diri yang asli, dalam
pengertian: otentik, sehingga tercegah dari tendensi berbuat korupsi.
OUTPUT
PUBLICATION
Publikasi
tentang Psikologi Korupsi, baik sebagai riwayat atau track-record
publikasi terkait sebagai anteseden hibah, maupun sebagai hasil hibah.