Nama Himpunan Psikologi Indonesia bukan Suatu Kesalahan

Nama Himpunan Psikologi Indonesia – bukan Himpunan Psikolog Indonesia – bukanlah suatu kesalahan.
Apabila kita bandingkan dengan – misalnya – American Psychological Association, maka jika kita rigid dalam berbahasa (Psychological adalah adjektiva/kata sifat = Psikologis = artinya: berkenaan dengan/menyangkut hal ihwal psikologi), terjemahan yang ‘benar’ dari APA seharusnya adalah Asosiasi Psikologis Amerika, bukan Asosiasi Psikolog Amerika atau pun Asosiasi Psikologi Amerika.
Faktanya; APA bukan kependekan/singkatan dari American Psychologist Association, meskipun anggotanya adalah Psychologists (Psikolog) dan menerbitkan buletin berjudul “American Psychologist”.
Mengapa dalam nama APA, digunakan nama “Psychological” bukan “Psychologist”?
Ternyata memang sudah disebutkan dalam situs web APA ( lihat tangkapan layar di bawah ini ).
Intinya, APA melakukan advokasi terhadap 2 entitas:
  1. Disiplin Psikologi (Psikologi sebagai sebuah ilmu)
  2. Profesi Psikolog (Psikolog dalam definisi APA)
Sebagai gejala berbahasa, perkataan “Himpunan Psikologi Indonesia”, setelah saya kaji, sesungguhnya merupakan gejala ameliorisasi, sehingga Psikologi di sini  mencakup sekaligus (pelaku/aktor) profesi dan (disiplin) bidang ilmunya.
Dengan demikian, meskipun IDI adalah Ikatan Dokter dan IAI adalah Ikatan Akuntan (atau Arsitek), tidaklah keliru kalau HIMPSI adalah Himpunan Psikologi.
Dalam bahasa Inggris, HIMPSI adalah Indonesian Psychological Association, senada dengan ‘P’ dalam APA. Apakah HIMPSI kemudian menjadi Himpunan Psikologis Indonesia? (bukan Himpunan Psikologi atau Himpunan Psikolog).
Ini adalah soal konsensus berbahasa kita. Nama saat ini tampak sudah memadai: Indonesian Psychological Association atau Himpunan Psikologi Indonesia. Memadai – dalam arti dapat diterima sebagai salah satu gejala dinamik bahasa, yakni ameliorisasi atau perluasan/peningkatan makna kata dalam konteks nama organisasi.
Demikianlah urun rembug yang saya sampaikan untuk soal penamaan saja dari organisasi HIMPSI, dalam rangkaian Kongres Luar Biasa Himpunan Psikologi Indonesia di Jakarta, pada 9-10 Maret 2018.

Rancangan Permenristekdikti tentang Integritas Akademik: Sejumlah Catatan

Konteks:

  1. Pada Juli 2018, saya menemukan sebuah terusan: Calon Permenristekdikti 2018 tentang Integritas Akademik.
  2. Telah diterbitkan Permenristekdikti No. 57 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
  3. Akan terbitnya Buku Pedoman Etika dan Integritas Ilmiah pada tahun 2019 yang disusun berdasarkan COPE (Committee on Publication Ethics). (Informasi dari Dr. Lukman, Kasubdit Fasilitasi Jurnal Ilmiah, Kemristekdikti RI).

Komentar (hingga saat ini):

Pertama, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa “Integritas Akademik adalah komitmen dalam bentuk perbuatan yang berdasarkan pada nilai kejujuran, kredibilitas, kewajaran, kehormatan, dan tanggung jawab dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”

Kata “kewajaran” perlu memperoleh perhatian khusus.

Guna mempertajam maknanya, saya usulkan tiga hal:

  1. Memberikan definisi terhadap masing-masing nilai (value), yaitu kejujuran, kredibilitas, kewajaran, kehormatan, dan tanggung jawab.
  2. Menuliskan padanan dalam bahasa Inggris pada Naskah Akademik atau Penjelasan Permenristekdikti ini. Misalnya: kejujuran (honesty), kredibilitas (credibility), kewajaran (?), kehormatan (?), tanggung jawab (responsibility). Tujuannya adalah agar semua pihak mempunyai rujukan yang bisa mempertajam pemaknaan terhadap istilah-istilah tersebut (misalnya, membuka kamus bahasa Inggris atau literatur berbahasa Inggris yang terkait).
  3. Dalam pengkajiannya, pembuat Naskah Akademik memberikan pertimbangan serius kepada UU No. 12/2012 Pendidikan Tinggi, Pasal 8 dan 9 tentang Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan.  Dalam Calon/rancangan Permenristekdikti tentang Integritas Akademik, tidak tampak satu kata pun tentang ketiga hal tersebut (Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan). Padahal, ihwal yang sangat rentan terancam dari sebuah “pasal karet” ( https://tirto.id/pasal-karet-di-indonesia-cEKU ) dalam konteks kehidupan akademik adalah ketiga hal tersebut. Bagaimana menjaga integritas akademik sekaligus menjamin tidak terganggunya kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan? Siapakah yang mengaudit “penegak integritas”? Sebaiknya ada pasal khusus dalam Permenristekdikti yang secara eksplisit menyebutkan tentang jaminan itu. Suasana nasional mohon dijadikan masukan kontekstual juga:
    1. Kriminalisasi Ilmuwan Mengancam Kebebasan Akademik (Kompas, 9 April 2018) https://kompas.id/baca/utama/2018/04/09/kriminalisasi-ilmuwan-mengancam-kebebasan-akademik-2/
    2. Kebebasan Akademik Terancam (Kompas, 9 April 2018) https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20180409/281513636725782

Kedua, mengenai Kepengarangan yang tidak sah (Pasal 9), disebutkan bahwa:

Kepengarangan yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d meliputi:

  1. menggabungkan diri secara sukarela atau dengan paksaan sebagai pengarang bersama tanpa memberikan kontribusi dalam Karya Ilmiah yang dipublikasikan;
  2. menghilangkan nama seseorang yang mempunyai kontribusi dalam Karya Ilmiah yang dipublikasikan; dan/atau;
  3. menyuruh orang lain untuk membuat Karya Ilmiah  sebagai Karya Ilmiahnya tanpa memberikan kontribusi;

Usulan saya, sebagai berikut:

Pasal ini baru dapat diberlakukan setelah aturan turunannya jelas. Dalam dunia ilmiah, perdebatan mengenai “authorship” (siapa yang dapat disebut sebagai “author”) sangat luar biasa. Bahkan saya ingat sekali, Prof Toeti Heraty pernah menulis sebuah buku berjudul, “Hidup Matinya Sang Pengaranghttps://www.goodreads.com/book/show/2493856.Hidup_Matinya_Sang_Pengarang

Terkait hal ini, menurut hemat saya, budayawan wajib untuk dimintakan pendapatnya mengenai “authorship”.

Sehubungan jurnal ilmiah, terdapat sebuah dokumentasi yang terkait dengan hal ini: https://www.editage.com/insights/how-to-draft-the-authorship-contribution-statement

Saya cantumkan screenshoot-nya di bawah ini.

Usulan saya adalah agar Permenristekdikti mewajibkan agar setiap jurnal di Indonesia meminta untuk penulis mencantumkan keenam butir yang disebutkan dalam dokumentasi tersebut (misalnya di dalam bagian Acknowledgment/Pengakuan Kontribusi).

Dengan demikian, Permenristekdikti baru dapat menjadikan objek perkara “kepengarangan yang tidak sah” untuk setiap tindakan yang tidak dapat diklarifikasi keenamnya, pasca Permenristekdikti ini terbit.

Apabila kewajiban untuk membuat “contributorship statement” belum timbul, namun ada yang dikenai sangkaan “kepengarangan yang tidak sah”, maka hal ini bisa menjadi potensi kesewenangan dari pihak yang “mengadili” dan mengancam kebebasan akademik itu sendiri.

Hal ini juga berkenaan dengan waktu berlakunya pasal “kepengarangan yang tidak sah”, mengingat bahwa pada saat peraturan ini diproses atau berlaku, tentunya banyak artikel jurnal atau pun konferensi yang sudah dan/atau sedang diproses penerbitannya.

Ketiga, oleh karena adanya keragaman bidang ilmu & profesi, maka kode etik material & pengelolaan terbitan ilmiah seyogianya didesentralisasikan diskusi, pembuatan, dan kewenangan penegakannya kepada komunitas/asosiasi ilmu/profesi serta (apabila ada) komunitas & asosiasi pengelola jurnal terkait. Konsekuensinya:

  • Diskusi intensif perlu dilakukan secara grounded, bottom-up dengan pelibatan sebanyak mungkin pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).
  • Etika dan kode etik jelas Bukan hukum (law). Konsensus dan penanganan/treatment mengenainya (hal-hal etis) perlu sangat berhati-hati. Prinsip kehati-hatian ini justru agar marwah & integritas ilmu/profesi itu sendiri terjaga.

Keempat, penyelesaian Buku Pedoman Etis Integritas Akademik hendaknya sabar mananti dan mencermati masukan-masukan dari masyarakat Indonesia sendiri, agar tidak terkesan menjadi projek ‘gebyah uyah’, diantaranya yang akan disampaikan melalui:

 

Call for papers – Academic integrity in Indonesia: Building on 20 years of progress
New Content Item​​​​​​​

Edited by:
Ide Bagus Siaputra, Center for Lifelong Learning, Faculty of Psychology, Universitas Surabaya, Indonesia

Tracey Bretag, University of South Australia Business School, Australia

Since 1999, the Directorate General of Higher Education in Indonesia has been aware of various cases of academic misconduct, prompting the government to proclaim the importance of misconduct prevention in order to increase the quality of education while maintaining academic integrity. In 2010, the Ministry of National Education Regulation (MNER) announced regulations on plagiarism prevention and control in higher education. Unfortunately, to date these regulations have had little effect on the prevention and eradication of academic misconduct; nor has practical direction and guidance been provided in relation to scientific publication ethics.

Over the last two decades there have been numerous changes and developments in the area of scientific publication in Indonesia. Up until 2018, more than 51,000 scientific journals (with ISSN) have been established in Indonesia, but only around 2,000 of these are indexed in SINTA (Science and Technology Index). The spike in scientific publication coincided with an increase in academic integrity violations (plagiarism, contract cheating, publication in predatory journals and/or conferences, manipulation of citations via ‘cartels’).

Looking to the future, there are several strategic efforts planned to promote academic integrity in Indonesia. These include organizing scientific activities attended by key stakeholders, the publication of an academic integrity guidebook and the development of new regulations by the Ministry of Research, Technology, and Higher Education.

This Call for Papers aims to gather contributions from Indonesian researchers, authors, and editors – and also other parties that are involved in research in the Indonesian context – in order to start a national campaign in Indonesia to address malpractice and fraud in academic publication. This thematic collection welcomes contributions that are empirical, theoretical or case studies and which address any of the following topics:

  • academic integrity training for undergraduate students
  • plagiarism at all levels
  • research training (for students and academics)
  • the impact of pressures to publish
    supervisory relationships and abuses of power
  • research integrity guidelines – national and institutional
  • ethics approval and complianc
  • data collection, management and reporting
  • conflicts of interes
  • corruption
  • authorship
  • citation practices
  • peer review
  • indexing and accreditation of journals
    predatory journals

Authors are advised to provide new insight and recommendation for further action.

Deadline for submission: 31st July 2019

 

Naskah Akademik RUU Psikologi: Sejumlah Masukan

Sebelumnya, saya pernah

  1. Mendiskusikan nomenklatur Magister Profesi Psikologi (2008)
  2. Berbicara dalam Seminar RUU Keprofesian Psikologi 2015 serta
  3. Menulis mengenai Psikolog Akademik, Psikolog Terapan, Psikolog Profesional: Apakah Ada Bedanya?.
    Dengan demikian, partisipasi saya dalam membahas Naskah Akademik RUU Psikologi bukanlah “turun dari langit”, melainkan berlandaskan pada keprihatinan yang sudah saya suarakan sejak satu dasawarsa yang lalu.

Sumber: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQhC091V6ENxuaYxo2wIG6C7FNlu_-N1iSUcHR5jVh2JWKBTfc
Sumber: https://www.all-about-forensic-psychology.com/psychology-and-law.html

Berikut ini adalah komentar dan masukan saya terhadap Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Psikologi (Draf ver 1.0 – Juli 2018):

Update terbaru, klik: Komentar Penutup terhadap RUU Psikologi

1) Bab 1.1.: Kebutuhan terhadap Psikologi sudah dipetakan. Akan tetapi, KIPRAH Profesi Psikologi DI INDONESIA yang berlangsung selama ini untuk menjawab kebutuhan tersebut tidak tampak.
Pada Bab 1 hendaknya jauh lebih ditekankan: Apa sajakah yang sudah diperbuat Psikologi di Indonesia  sehingga perlu penguatan dengan Undang Undang Psikologi? Sebaiknya mencantumkan referensi dari laporan2 riset dan praktik komunitas psikologi Indonesia selama ini.

2) Tidak tercantumnya data-data riset pada Latar Belakang membuat kajian ini menjadi semacam Opini bahkan Tuduhan, bukan untuk sebuah Naskah Akademik. Misalnya, apakah ada data tentang (?):
– Malpraktik yang ditemukan pada praktik psikologi pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam pendidikan psikologi.
– Jasa psikologi pun kadang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti mem-PHK atau memutasikan seseorang karena alasan politis, dengan menggunakan tes psikologi sebagai alasan.

3) Bab 2.1.1.: Lahirnya Profesi Psikologi DI INDONESIA masih sangat kurang. Jauh lebih banyak referensi dari luar. Dengan demikian, konteks sosial-historis Indonesia tidak tampak.
Saran: Mengintegrasikan informasi dari Buku DIALOG PSIKOLOGI INDONESIA (yang pernah diterbitkan oleh Himpsi Jaya).
Menurut saya, pada bagian ini tidak begitu urgen untuk merincikan mazhab-mazhab psikologi di DUNIA (sebagaimana sudah tertulis saat ini). Mengapa? Karena perkembangan psikologi di setiap negara senantiasa bersifat kontekstual (konteks sejarah, konteks sosiologis, konteks antropologis).

4) KepMenristekdikti No. 257/M/KPT/2017 tentang NAMA PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI sebagai acuan yang termutakhir dalam bidang pendidikan tinggi psikologi belum dimasukkan.

5) Landasan Filosofis  tidak tajam. Penting untuk memasukkan landasan filosofis tentang PROFESI PSIKOLOGI itu sendiri (ontologi, epistemologi, aksiologi) sehingga memunculkan urgensi butuhnya RUU Psikologi.
Dalam Landasan Sosiologis dipaparkan hanya sepintas permasalahan sosial, tetapi tidak muncul dengan kuat mengenai peran psikologi secara sosiologis.  Yang lebih terungkap adalah goal psikologi dari sudut pandang administratif, yaitu butir (a) sampai (e). Tampaknya, justru perlu dibedakan antara Administratif dan Sosiologis.
Rujukan dari Indonesia menjadi penting: Misalnya https://catalogue.nla.gov.au/Record/455000
Disertasi Suwarsih Warnaen (Ethnic stereotype attitude and the perception of cross-cultural differences among the ethnic groups in Indonesia), dan banyak penelitian penting psikologi di Indonesia tidak tampak, sehingga membuat Naskah Akademik ini “kekeringan” dari konteks Indonesia. Padahal UU Psikologi adalah untuk masyarakat Indonesia.

6) Adapun jangkauan pengaturan RUU Psikologi –> Nomor 6) Alat tes psikologi; sebaiknya ALAT TES diganti menjadi ALAT UKUR Psikologi (agar lebih luas).

7) Beberapa kalimat belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar; misalnya kalimat-kalimat berikut sukar dipahami:
– Halaman 6: Peran psikologi sebagai ilmuwan dan praktik profesi  …..
—-> Apa yang dimaksud ‘psikologi sebagai ilmuwan dan praktik’? (Menyalahi kaidah bahasa)

– Halaman 9: Kondisi saat ini yang berlaku di Indonesia terkait dengan aktivitas mal praktik lebih berlandaskan pada apa yang berlaku di organisasi profesi psikologi Indonesia, yang mana apa yang ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi hanya mampu mengikat anggotanya saja.
—–> Kalimat terlalu kompleks.

– Halaman 9: Oleh karenanya, perangkat keilmuan dan etika yang dimiliki seorang Psikolog mempunyai karakteristik yang khas yang harus mengutamakan kesejahteraan manusia.
—> Apa yang dimaksud ‘perangkat keilmuan dan etika’?

– Surat Ijin Praktek Psikolog
—> Yang benar adalah Praktik, bukan Praktek.

– Halaman 72: pengaturan praktik tenaga profesi psikolog (psikolog Indonesia dan  psikolog Asing)
Istilah “Psikolog Indonesia” dan “Psikolog Asing” tidak tepat.
Psikolog Indonesia —> Artinya Psikolog UNTUK Indonesia.
Psikolog Asing —> Artinya Psikolog UNTUK Asing.
Bandingkan:
Psikolog Perusahaan —> Psikolog UNTUK Perusahaan (Psikologi YANG BERKARYA BAGI Perusahaan), bukan Psikolog DARI Perusahaan. Tidak harus berasal dari Perusahaan.
Psikologi Perempuan —> Psikolog TENTANG (YANG MEMPELAJARI) Perempuan.  Psikolog perempuan tidak harus seorang perempuan, bisa seorang laki-laki. Bedakan dengan: Perempuan Psikolog.

Saran, diganti menjadi: WNI Psikolog dan WNA Psikolog.

Dalam Latar Belakang ada kalimat, “Dalam sektor jasa psikologi di luar tes……”.
Apakah istilah ‘sektor jasa psikologi’ merupakan istilah yang tepat?

8) Dalam 2.1.2  Definisi Profesi Psikologi dan Cakupan Praktik  serta 2.1.4  Prinsip Etik Profesi Psikologi ; Mengapa tidak ada rujukan terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia?

9) Dewan Psikolog Indonesia  (Halaman 62)
—> Mengapa bukan Dewan PSIKOLOGI Indonesia? Serupa dengan Himpunan PSIKOLOGI Indonesia, Majelis PSIKOLOGI Indonesia.

10) Perlu koherensi antara ‘Tenaga Profesi Psikologi’ dan ‘Psikolog’.
Disebutkan:

Tenaga profesi psikologi adalah setiap orang yang melakukan jasa dan/atau praktik Psikologi serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang Psikologi yang terdiri dari sarjana psikologi, psikolog dan lulusan magister profesi psikologi dengan peminatan tertentu.

Psikolog adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi, memiliki Surat Sebutan Psikolog dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikolog.

Seharusnya: Psikolog adalah tenaga profesi psikologi yang …….
Karena Psikolog merupakan bagian dari tenaga profesi psikologi.

11) Naskah Akademik merupakan peluang yang bagus untuk menyatakan dengan tegas perbedaan antara Psikolog, Psikiater, Perawat Jiwa, Pekerja Sosial. Tetapi tampaknya ‘peluang emas’ ini belum digunakan dengan baik. Padahal klarifikasi ini yang sangat dibutuhkan para pembuat kebijakan baik di bidang pendidikan maupun politik kebijakan. Seyogianya distinction (pembedaan) muncul dalam: BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS  &  BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.

Takut Tua? Riset Ini Untuk Anda

Sebuah asosiasi profesi psikologi sosial, yakni Asian Association of Social Psychology, mengadakan pertemuan “Summer School” tahun lalu yang cukup unik. Disebutkan bahwa:

Although it was officially entitled as a ‘summer’ school, being held in the southern hemisphere meant that it was actually winter! The venue was the lovely (albeit chilly at the time) Kawaipurapura Retreat with the students residing dormitory style, and sessions taking place, in a traditional maraestyle room (see picture with Liz Jones leading the class).

The atmosphere of the school was lovely and lively, with critical and friendly collaborations and cross-fertilisation of ideas. Lovely vegetarian and vegan fare was served in accordance with the spiritual aims of the venue, and we even managed to give a surprise birthday cake to William Crano! A stimulating work, social and spiritual time was had by all participants.

Dalam kesempatan ini, saya berkolaborasi dengan rekan-rekan dari sejumlah negara, yakni Sukma Nurmala (Indonesia), Shuwei Liu dan Runan Ding (Zhejiang University, China), serta Wendy Li (James Cook University, Australia) dan Darrin Hodgetts (Massey University, New Zealand).

Kami melakukan penelitian payung dari Dr. Wendy Li, yakni “Fear of Ageing in Asia” dan memperoleh grant penelitian. Jumlahnya mungkin tidak banyak, tetapi menjadi penanda yang penting bagi kerja lintas bangsa yang diabdikan bagi masyarakat Asia.

Hasil penelitian ini akan kami sajikan dalam Pertemuan 13th Biennial Asian Association of Social Psychology di Taipei.

 

AASP Research Grant
AASP Research Grant

 

Sains Terbuka

Pada 18-08-18, peluncuran publik Tim Sains Terbuka/TST (Indonesian Open Science Team) ditandai dengan berdirinya situs web https://sainsterbuka.com

Kalau ada Sains Terbuka, apakah ada sains tertutup? Apakah Sains Terbuka adalah sebuah ilmu baru? Mari berjumpa berdialog bersama di https://sainsterbuka.com

Pada acara Penyamaan Persepsi Asesor Akreditasi Jurnal di Surabaya pada 13 Agustus 2018 yang lalu, Bapak Dr. Muhammad Dimyati selaku Dirjen Penguatan Risbang menyampaikan keynote address yang sangat penting. Bahwa hati kecil kita kalau ditanya sebenarnya juga tidak ingin terus-menerus menari karena genderang orang lain; tetapi faktisitasnya adalah: di mana-mana kita selalu ditanya, kampus dan jurnal kita ada di rank berapa?

Metrik-metrik tertentu baik metrik universitas maupun metrik jurnal memang selalu membayangi kita.
SINTA adalah salah satu upaya Kemristekdikti agar pihak lain ikut menari karena genderang kita. Oleh sebab itu sekarang di dalam SINTA sudah ada negara lain selain Indonesia, seperti Malaysia, dll.

Dalam konteks yang berdekatan, Tim Sains Terbuka/TST dengan situs web https://sainsterbuka.com memang hanya kontribusi setitik air dalam lautan luas dari koordinat pemberdayaan diri kita.

Mari terlibat dengan sebuah inisiatif praktik sosial untuk menjadikan sains inklusif buat semua, serta mengarusutamakan praktik ini dalam dunia sains Indonesia dan global.

Salam #TerbukaAtauTertinggal,
#BekerjasamaSamaBekerja
Tim Sains Terbuka
https://sainsterbuka.com

Psikolog Sosial BINUS Berpartisipasi Dalam Penyusunan RUU Dosen

Pada 27 Juli 2018, Dr. Juneman Abraham, psikolog sosial dan lecturer specialist Universitas Bina Nusantara hadir bersama dengan Tim Pengkaji Kebijakan Pendidikan Tinggi Ikatan Dosen Republik Indonesia di Ruang Badan Keahlian DPR RI dalam rangka sebagai salah satu narasumber penyusunan naskah akademik dan draft Rancangan Undang Undang tentang Dosen.

Salah satu regulasi dalam pengelolaan sumber daya pendukung pendidikan nasional diatur melalui Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU tentang Guru dan Dosen merupakan payung hukum dalam mengatur guru dan dosen namun dalam implementasinya belum spesifik.

Dalam kesempatan tersebut, berlangsung diskusi berdasarkan kepakaran, diantaranya tentang: perlunya pemisahan UU tentang Guru dan Dosen (menjadi UU tentang Guru & UU tentang Dosen), deregulasi dan debirokratisasi pendidikan tinggi, caturdarma, serta kesejahteraan dosen termasuk tunjangan fungsional dan kinerja.

 

 

Sebelumnya, Tim serupa telah menelurkan sebuah buku berjudul Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018 yang diterbitkan oleh ITB Press (ISBN 9786025417931) dan diberikan kata pengantar oleh Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Berikut ini adalah salah satu Bab yang ditulis oleh Juneman: https://osf.io/nz7v9/

 

Teknopsikologi

Sebuah teknopsikologi dibutuhkan untuk memahami era digital ini. Di-coin-nya istilah technopsychology dan sejenisnya (psikoinformatika, sosioteknologi, dan sebagainya) sekadar menggambarkan betapa bersenyawanya (bukan hanya ‘betapa eratnya’) keduanya. Para filsuf telah membahas, bagaimana kebenaran teknologis (technological truth) dimediasikan oleh human hermeneutics guna mengangkat/menyejahterakan umat manusia.

Typographical Era: Magnifying Human Error in the Digital Age
The threshold “error” is our complicity … (Amster, 2018)

Prof. Randall Amster, seorang profesor pensyarah (teaching professor) dari Georgetown University di Washington, DC, Amerika Serikat untuk bidang studi Keadilan dan Perdamaian, menjadikan artikel kami yang berjudul Technopsychology of IoT Optimization in the Business World sebagai bahan kajian dalam artikelnya “Typographical Era: Magnifying Human Error in the Digital Age” di The Society Pages.

Hal ini sekaligus menjadi salah satu penanda menggeliatnya teknopsikologi di tanah air kita, Indonesia.