Perkataan customer-oriented research setidaknya membawa ingatan saya pada 3 (tiga) buah peristiwa yg pernah saya alami.
Pertama adalah workshop Jurnal Humaniora yang saya ikuti di UGM. Ketua Redaksi waktu itu (sekitar 2013) menyatakan bahwa beliau punya konsen tentang bagaimana publikasi ilmiah dari orang Indonesia tetap juga dapat dinikmati oleh seluas-luasnya masyarakat Indonesia. Di sini menyangkut pula persoalan bahasa. Yang mengesankan saya adalah ungkapan beliau, bahwa meskipun sudah memiliki kiprah publikasi pada tingkat internasional, beliau masih juga menyempatkan diri untuk menulis di jurnal-jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang dianggap ‘kecil’ yang berbahasa Indonesia agar hal-hal yang beliau ketahui turut terjangkau oleh para dosen, mahasiswa, dan awam yang masih juga banyak membaca publikasi yang demikian. Hal ini menurut hemat saya sangatlah inspiratif.
Peristiwa kedua adalah paparan keynote speaker Prof Murnizam Hj. Halik di Auditorium Universitas Mercu Buana Jakarta saat konferensi Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi tahun 2013. Beliau memaparkan puluhan contoh artikel jurnal yang dari judul dan abstraknya sudah sangat super-spesialistik serta memuat alur mediasi dan moderasi sejumlah variabel dengan sofistikasi sangat tinggi. Beliau waktu itu bahkan agak ‘menantang’ audiens, siapa sajakah di antara komunitas ilmuwan maupun praktisi PIO yang hadir yang bisa mengerti dan menjelaskan ulang judul dan abstrak tersebut. Tampaknya waktu itu beliau mengkontekskan paparan tersebut dalam rangka aplikabilitas riset untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat ASEAN.
Pengalaman ketiga, adalah membaca ulasan beberapa tahun lalu di Koran Kompas oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J., salah seorang guru besar etika yang paling masyur di Indonesia, mengenai bahwa dalam hal filsafat, masyarakat Indonesia lebih membutuhkan pengembangan filsafat yang ‘generalis’, seperti wawasan tentang bagaimana umumnya pemikiran Karl Marx, bukan pemikiran Marx yang sudah sampai ‘printilan’-nya. Hal ini juga berdampingan, tetapi bukan bermaksud defensif, dengan kenyataan sebagian kesulitan dosen filsafat di Indonesia ‘menembus’ jurnal filsafat papan atas yang tidak sedemikian diikuti diskursusnya oleh kebanyakan dosen-dosen filsafat di Indonesia (tidak pula seperti di beberapa negara maju di mana perkumpulan dlm bidang filsafat cukup pesat berkembang).
Oleh sebab itu, saya menganggap penting bagi kita untuk mempertanyakan ulang, “Siapakah sebenarnya konsumen, dan pemangku kepentingan keseluruhan dari penelitian kita? Bagaimana sebuah ‘customer-attentive research‘ mau didefinisikan dan diupayakan?”. Hal ini patut dijawab selekasnya karena akan menyangkut banyak aspek dari kebijakan perjurnalan kita. [Bandingkan juga dengan tulisan saya baru-baru ini: Pelajaran dari Nobel Laureate tentang Keragaman dalam Penelitian].