Sebuah tulisan mengenai Psikologi Budaya Instan, seperti yang saya tulis dan terbitkan, rupa-rupanya memang dibutuhkan karena kenyataan yang memarak (sebut saja, untuk mengupas kasus Dimas Kanjeng). Uniknya, sebuah artikel di surat kabar Wawasan, 13 Juli 2014, berjudul “Budaya Instan, Baik atau Buruk?” justru secara instan mengambil bagian-bagian dari artikel saya (tanpa menyebut sumbernya). Sebagai contoh, “Budaya instan juga baik ketika memiliki fungsi meningkatkan pemberdayaan diri”, “ruang dan waktu privat telah direnggut oleh budaya instan”; meskipun dalam seksi tulisan lain, “Dunia Doraemon di Sekitar Kita”, sumber disebut (untuk bahasan yang berbeda). Kritikus budaya instan kok melakukan praktik instan? Sudah permisifkah kita terhadap kepalsuan?
Dua buah artikel Opini yang identik terbit di Bali Post, 4 Oktober 2016, dan di Suluh Indonesia, 5 Oktober 2016, berjudul “Budaya Instan dan Investasi Fiktif” juga patut kita simak. Untuk diketahui, tulisan dalam Suluh Indonesia dimuat juga secara sinergis dengan Kelompok Media Bali Post.