Satu minggu yang lalu, saya menghadiri pertemuan dalam rangka membahas rencana menuju Rancangan Undang Undang Kesehatan Jiwa yang sudah masuk Prolegnas 2011. RUU ini merupakan inisiatif DPR.
Seperti diketahui sebelumnya bahwa definisi/batasan Kesehatan Jiwa yang kita gunakan selama ini merupakan definisi Kesehatan Jiwa versi World Federation for Mental Health (WFMH), yang perlu di-rethink dewasa ini, khususnya apabila kita mau berangkat dari peta kesehatan jiwa masyarakat Indonesia sendiri.
Patut pula diketahui sejarah legislasi / regulasi kesehatan jiwa di Indonesia, sebagai berikut:
° 1897 : Het Reglement op het Krankzinnigenwezen (Stbl. No. 54)
° 1960 : Undang Undang Pokok Kesehatan
° 1966 : Undang Undang Kesehatan Jiwa (sudah dicabut)
° 1992 : Undang Undang Kesehatan (minus PP Kesehatan Jiwa)
° 2009 : Undang Undang Kesehatan
° 2010 : PP Kesehatan Jiwa (saat tulisan ini dibuat, hampir jadi) dan beberapa Permenkes
Renungan Jejak Jiwa Terkini Tentang Kesehatan Jiwa Dalam Relasinya dengan Dunia yang Berubah:
a. Kesehatan Jiwa adalah bagian dari syarat keselamatan dan keamanan manusia yang wajib diurus dan dipelajari terus-menerus duduk perkaranya dan dinamika konteks sosialnya.
b. Konstruk “kesehatan jiwa” sendiri mengalami review, kritik, pengayaan, revisi, karena dia bukan “status” atau “keadaan”, melainkan refleksi dari relasi sosial. Kesehatan jiwa merupakan fungsi atau derivat dari proses konstruksi diri (self construction / production / reproduction) di hadapan proses-proses sosial yang melibatkan si pribadi.
c. Butir (b) di atas menunjukkan bahwa kesehatan jiwa tidak mungkin diurus sebagai sebuah gejala klinis pada tingkat “pasien”, tanpa ada intervensi sistematis pada skala masyarakat. Dislokasi, displacement, disaffection berlangsung secara ubiquitous setiap saat, di sepanjang perubahan ekonomik, sosial, ekologis.
d. Hari ini, kesehatan jiwa diurus sebagai “subdivisi” dari masalah kesehatan terutama dalam konteks medis, dan oleh karenanya pengurusan publiknya berada sebagai cabang dari pada terpenuhi tidaknya syarat-syarat sosial dari kesehatan mental warga masyarakat / warga pengurusan publik, tidak akan dapat ditemukan di cabang-cabang kantor Negara lain (ekuin, kesra, hukum, dsb). Sebagai turunan dari tidak adanya ikhtiar termasuk ekonomik yang berkaitan dengan kesehatan jiwa, tidak ada pengerahan / mobilisasi anggaran publik yang memadai untuk mengurus kesehatan jiwa secara komprehensif.
e. “Community based mental health service / provision” menjadi karikatur, bahwa nyatanya warga harus jungkir balik mengurus sendiri dengan apapun yang dimiliki untuk mengatasi, mencegah, dan memelihara kesehatan jiwa pada skala komunitas, tanpa campur tangan yang cukup dari pengurus publik.
f. Pada tataran reproduksi dan evolusi keilmuan, penglihatan (a) s.d. (e) juga terjadi, dan karenanya membutuhkan gerakan untuk mendorong disiplin-disiplin keilmuan untuk bekerjasama lebih cerdas dan lebih sungguh-sungguh untuk menempatkan soal kesehatan jiwa secara jitu dalam konteks kesehatan manusia dan kewarasan dalam konteks kemasyarakatan.
Pada hari ini, 15 Oktober 2010, dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia dan Hari Ulang Tahun Partai Demokrat ke-9, diselenggarakan acara seminar di Ruang Rapat BALEG, Gedung Nusantara I, Lantai 1, DPR RI, dengan topik “Urgensi Undang Undang Kesehatan Jiwa“.